Senin, 12 Desember 2016

Gerakan Sosial budaya untuk Lingkungan



Gerakan Sosial Budaya untuk Lingkungan
Makalah
Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah: Sosiologi Antropologi Lingkungan
Dosen Pengampu: Ahmad Faqih, S.Ag, M.Si





 

Disusun Oleh:
Siti Ani Munasaroh                 (1501046002)

PENGEMBANGAN MASYARAKAT ISLAM
FAKULTAS DAKWAH DAN KOMUNIKASI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2016








PENDAHULUAN

I.              Latar Belakang
Manusia adalah makhluk hidup yang dapat dilihat dari dua sisi, yaitu segi makhluk biologis dan makhluk sosial. Sebagai makhluk biologis, makhluk manusia atau “homo sapiens” sama seperti makhluk hidup lainnya yang mempunyai peran masing-masing dalam menunjang sistem kehidupan. Sebagai makhluk sosial, manusia merupakan bagian dari sistem sosial masyarat secara berkelompok membentuk budaya. Ada perbedaan mendasar tentang asal mula manusia, kelompok evolusiois pengikut Darwin menyatakan bahwa manusia berasal dari kera yang berevolusi selama ratusan ribu tahun, berbeda dengan kelompok yang menyanggah teori evolusi melalui teori penciptaan, yang menyatakan bahwa manusia itu diciptakan oleh Allah. Pemahaman tentang hidup dan kehidupan, itu tidak mudah. Makin banhak hal yang anda lihat  tentang gejala adanya hidup dan kehidupan, makin nampak bahwa hidup itu sesuatu yang rumit. Pada individu dengan organisasi yang kompleks, hidup ditandai dengan eksistensi vital, yaitu: dimulai dengan prosesmetabolisme, kemudin pertumbuhan, perkembangan, reproduksi dan adaptasi internal, sampai berakhirnya segenap proses itu bagi suatu “individu”  tentang gejala adanya hidupdan kehidupan, makin nampak bahwa hidup itu sesuatu yang rumit. Pada individu dengan organisasi yang kompleks, hidup ditandai dengan eksistensi vital, yaitu: dimulai dengan proses metabolisme, kemudian pertumbuhan, perkembangan, reproduksi dan adaptasi internal, sampai berakhirnya segenap proses itu bagi suatu “individu” lain seperti sel-sel, jaringan, organ-organ dan sistem organisme yang termasuk dalam alam mikroskopis, batasan hidup adalah tidak jelas atau smar-samar.
II.           Rumusan Masalah
1.      Apa pengertian gerakan sosial, budaya dan Lingkungan?
2.      Apa saja gerakan sosial budaya untuk lingkungan?








PEMBAHASAN

1.      Pengertian gerakan sosial, budaya dan Lingkungan
Secara umum, gerakan sosial dimaknai sebagai sebuah gerakan yang lahir dari sekelompok individu untuk memperjuangkan kepentingan, aspirasi atau menuntut perubahan yang ditujukan untuk kelompok tertentu, misalnya adalah pemerintah atau penguasa. Namun gerakan sosial ini dapat berpihak sebagai gerakan sosial yang pro maupun kontra dengan pemerintah (penguasa). Gerakan sosial merupakan bentuk kolektivitas orang-orang di dalamnya untuk membawa atau menentang perubahan. Gerakan sosial sering kali tidak berwujud sebagai organisasi formal, namun dapat pula merupakan bagian sebuah organisasi tertentu, sehingga tidak mengherankan apabila di dalam organisasi terdapat kelompok-kelompok yang saling bertentangan dan masing-masing mewujudkan dirinya dalam bentuk gerakan sosial.
Sztompka (1994) memeberikan batasan definisi gerakan sosial. Menurutnya, gerakan sosial harus memiliki empat kriteria, yaitu: pertama, adanya kolektifitas, kedua, memiliki tujuan bersama yaitu mewujudkan  perubahan tertentudalam masyarakat mereka yang di tetapkan partisipan menurut cara yang sama, ketiga, kolektivitasnya relatif tersebar namun lebih rendah derajatnya dari pada organisasi formal, keempat, tindakannya memiliki gerakan spontanitas tinggi namun tidak terlembaga dan bentuknya tidak konvensional.[1]
Gerakan sosial lahir pada mulanya sebagai suatu kelompok orang yang tidak puas terhadap keadaan. Kelompok itu semula tidak terorganisasi dan terarah, serta tidak memiliki rencana. Orang-orang saking berbagi dan mengeluh, para cendekiawan menulis karangan, para warga negara menulis surat pembaca editor, orang melakukan eksperimen menyangkut bentuk eksperimen baru. Pemimpin dan organisasi pada kebanyakan gerakan biasanya muncul tidak sama setelah situasi demikian tercipta. 
Setelah mengalami masa tahap aktif yang jarang melebihi masa satu atau dua dasawarsa, gerakan itu lalu mengalami penurunan kegiatan. Kadangkala gerakan itu sempat menciptakan organisasi permanen atau suatu perubahan (hak pilih bagi kaum wanita) dan sering kali gerakan itu hilang begitu saja tanpa bekas yang berarti.[2]
Lingkungan hidup adalah suatu konsep holistik yang berwujud di bumi ini dalam bentuk, susunan dan fungsi interaktif antara semua pengeda baik yang insani (biotik) maupun yang ragawi (abiotik). Keduanya saling mempengaruhi dan menentukan baik bentuk dan perwujudan bumi dimana berlangsungnya kehidupan yaitu biofsir maupun bentuk dan perwujudan dari kehidupan itu sendiri, seperti yang disebutkan dalam hipotesis gaia. Lingkungan hidup yang dimaksud tersebut tidak bisa lepas dari kehidupan manusia, oleh karena itu yang dimaksud dengan lingkungan hidup adalah lingkungan hidup manusia.
Lingkungan adalah suatu media dimana makhluk hidup tinggal, mencari penghidupannya dan memiliki karakter serta fungsi yang khas yang mana terkait secara timbal balik dengan keberadaan makhluk hidup yang menempatinya, terutama manusia yang memiliki peranan kompleks dan riil.
2.      Gerakan Sosial Budaya Untuk Lingkungan
Berbagai permasalahan lingkungan yang terjadi kemudian memicu munculnya gerakan-gerakan sosial di bidang lingkungan hidup. Keberadaan garakan sosial dalam bidang lingkungan hidup merupakan proses panjang yang senantiasa mengiringi perkembangan dan kondisi ekologi bangsa ini.

Menurut Purnomo dkk (1989) dalam konteks sejarah gerakan lingkungan hidup di Indonesia yang termanifestasi dalam bentuk NGO (Non Governmental Organization) atau secara umum dikenal sebagai Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), sebenarnya telah masuk dalam agenda gerakan semenjak 1970-an (dalam Suharko, 1998). Gerakan lingkungan hidup di Indonesia memperoleh momentum penguatan pada periode 1980-an, Eldridge (1995) menyebut periode ini sebagai ‘gelombang kedua’ (second wave) aktivitas NGO atau LSM di Indonesia. Pada periode ini, tepatnya pada 15 Oktober 1980 muncul salah satu gerakan sosial di bidang lingkungan bernama WALHI (Wahana Lingkungan Hidup).
Di Indonesia jumlah gerakan lingkungan dari masa ke masa semakin bertambah banyak. Pada kurun waktu 1995, diperkirakan jumlah NGO lingkungan yang ada di Indonesia mencapai angka antara 1.000-2.000, (Sardi dalam Suharko, 2006)[3] beberapa gerakan sosial untuk lingkungan antara lain: 
1.       Ekofeminisme
1.1 Latar Belakang gerakan Ekofeminisme
Ekofeminisme merupakan sebuah gerakan yang muncul di kalangan perempuan di berbagai belahan dunia dari berbagai profesi sebagai akibat adanya ketidak adilan terhadap perempuan yang selalu dimitoskan dengan alam. Pembahasan tentang lingkungan juga terkait dengan ekofeminisme sebagai implikasi kesadaran feminis yang tinggi di kalangan ilmuwan perempuan di perguruan tinggi di bergagai belahan dunia.  Kesadaran para perempuan feminis terhadap eksploitasi alam membuat mereka bangkit berperan dalam penyelamatan lingkungan hidup sehingga tercipta kehidupan yang eco-friendly dan Womenfriendly. Kunci dari hal itu adalah melibatkan dan empati terhadap perempuan dalam perannya dalam lingkungan hidup. Oleh karenanya perlu memahami kearifan lokal sebagai sebuah acuan dengan dekonstruksi kearifan lokal agar muncul rekonstruksi kearifan lokal baru yang ramah lingkungan. 
Kata “eko” dalam ekologi berasal dari bahasa Yunani Oikos, yang berarti rumah tempat tinggal; tempat tinggal semua perempuan dan laki-laki, hewan, tumbuhan, air, tanah, udara, dan matahari (Isshiki, 2000). Ekologi mempelajari hubungan antara manusia dan lingkungan hidup; mengkaitkan antara ilmu alam dengan ilmu kemanusiaan secara interdispliner. Kesadaran ekologi hendak melihat kenyataan dunia ini secara integral holistik, bahwa dunia yang satu itu ternyata mengandung banyak keanekaragaman (Buntaran, 1996). Ekologi sekaligus merupakan reaksi kritis atas pandangan umum terhadap dunia yang dualistis-dikotomis.
Usaha pelestarian lingkungan dimengerti sebagai kesediaan manusia mengakui keterbatasannya, bahwa ia tidak pernah dapat memahami sepenuhnya kerja dunia dan semua unsurnya. Maka manusia mau bekerjasama dengan alam lingkungan untuk mengarahkan hidup ini secara bersama-sama kepada kesejahteraan seluruh anggota komunitas dunia, itu berarti mengakui dan menghargai hak hidup setiap makhluk sebagai subyek yang mandiri dan bermartabat dalam dunia yang konkret integral (Darmawati, 2002). Feminisme muncul untuk menanggapi masalah ketimpangan antar jenis kelamin, diskriminasi, penindasan, dan kekerasan terhadap perempuan. Gerakan feminisme dan ekologis mempunyai tujuan yang saling memperkuat, keduanya hendak membangun pandangan terhadap dunia prakteknya yang tidak berdasarkan model-model yang patriarkhis dan dominasi-dominasi. Ada kaitan yang sangat penting antara dominasi terhadap perempuan dan dominasi terhadap alam. Kehancuran ekologi saat ini akibat pandangan dan praktek yang andosentris. Kaitan antara feminisme dan lingkungan hidup adalah historis kausal. Para filsuf ekofeminisme berpendapat konsep dasar dari dominasi kembar terhadap alam dan perempuan adalah dualisme nilai dan hirarki nilai. Maka peran etika feminisme dan lingkungan hidup adalah mengekspos dan membongkar dualisme ini serta menyusun kembali gagasan filosofis yang mendasarinya (Darmawati, 2002). Ekologi  merupakan kajian yang menaruh perhatian kepada keterkaitan antara kehidupan manusia dan lingkungannya.[4]
1.2  Peran Perempuan Dalam Penyelamatan Lingkungan
Menurut Strong (1995) kunci untuk memperbaiki bumi terletak pada penghormatan terhadap hukum alam yang dipahami oleh masyarakat asli tradisional. Masyarakat ini berbicara dengan kumpulan instruksi yang asli yang diberikan kepada mereka oleh Sang Pencipta. Mereka mengetahuinya dan menghidupi hukum ini, yang menuntun relasi manusia dengan empat elemen pemberi kehidupan, yakni, tanah, air, udara, dan api (energi); serta mengajarkan penghormatan kepada kesatuan dan kesinambungan dari seluruh kehidupan. “Tidak ada jalan lain untuk perdamaian kecuali semua orang harus meninggalkan gerbang istana persepsi yang relatif, turun ke padang rumput, dan kembali ke jantung alam yang non-aktif. Marilah kita katakana bahwa kunci perdamaian terletak dekat di bumi”.
Di manapun, di belahan bumi ini sebenarnya semua manusia menentang kehancuran dan perusakan alam, hanya saja gerakan perempuan terutama perempuan pedesaan atau pinggiran lebih nyata terlihat pembelaannya terhadap kerusakan lingkungan. Hal ini dapat dipahami karena biasanya kerusakan lingkungan dimulai adanya perambahan dan penebangan hutan, pencemaran sungai besar dengan pembuangan limbah yang tentu saja mencari tempat yang jauh di pedalaman, juga kebocoran reaktor nuklir yang sudah tersembunyi tempatnya jauh di pinggiran kota. Sementara itu di sisi lain kehidupan di tempat-tempat seperti tersebut di atas didominasi oleh kaum perempuan dan anak. Perempuan dan anak menjadi penghuni tetap lingkungan yang tercemari dan dirambah tersebut, sementara para laki-laki pergi mencari nafkah ke kota. Dengan asumsi demikian maka sangat wajar jika gerakan perempuan dalam penyelematan lingkungan hidup menjadi sangat nyata dan penting, bahkan menjadi pioneer ketika para laki-laki justru tidak peduli dan bersekutu dengan kepentingan kapitalis dan industrialis. Berbagai contoh peran perempuan dalam penyelamatan lingkungan di berbagai negara dapat dilihat seperti berikut:
Pengalaman orang-orang di Irian Jaya dalam berinteraksi dengan alam lingkungan misalnya tidak memisahkan aktivitas ekonomi dari pengalaman beragamanya. Perempuan-perempuan irian menghalangi para suami-suami mereka yang akan menebang pohon-pohon di hutan dengan berpuisi dan mengitari bahkan mendekap pohon-pohon itu. Dan ini terbukti berhasil (Darmawati, 2002).
Apa yang dilakukan oleh perempuan Irian Jaya ini mirip dengan yang terjadi di India. Pada tahun 1974, 74 perempuan di kota Reni, bagian utara India, bersepakat untuk menghentikan penebangan hutan. Mereka memeluk erat-erat pohon-pohon yang akan ditebang oleh mesin pemotong kayu yang dilakukan oleh perusahaanperusahaan besar. Gerakan para perempuan ini dikenal dengan sebutan gerakan Chipko (dalam bahasa Hindi bererti “memeluk”). Gerakan ini berhasil menyelamatkan sebanyak 12.000 km areal hutan. Gerakan ini pada dasarnya mempunyai unsur ekonomi maupun budaya. Unsur ekonomi karena adanya sentimen para pada para kontraktorkontraktor besar yang menggunduli hutan penduduk asli  untuk kepentingan bisnis para kontraktor. Unsur budaya karena kepercayaan yang tertanam dalam masyarakat untuk melindungi hutan nenek-moyang mereka. Hutan bagi orang India mempunyai makna sakral yang dikenal dengan sebutan Aranya Sanskrit (Warren, 2000). Gerakan Chipko dan kepercayaan Aranya Sanskrit menurut Jayanta Bandoyopadhay dan Vandana Shiva, dua orang aktivis lingkungan ternama, adalah memiliki basis ekologis yang kuat (Warren, 2000). Selain basis ekologis yang kuat gerakan Chipko mempunyai perspektif perempuan yang tangguh. Gerakan Chipko terdiri dari para perempuan dari organisasi “akar rumput” yang sangat sadar akan keterkaitan isu perempuan dengan lingkungan. Dalam hal kasus penebangan hutan tersebut, para anggota gerakan Chipko menilai kepentingan perempuan telah dikorbankan demi kepentingan bisnis. Ada dua hal yang menarik untuk disimak argumentasi gerakan Chipko. Pertama, perempuan di India, seperti di Negara berkembang lainnya, merupakan korban pertama dari penebangan hutan. Pohon-pohon memberikan empat kebutuhan utama bagi keperluan rumah tangga: makanan, bahan bakar, produk-produk rumah (termasuk peralatan membersihkan rumah, peralatan masak), dan menghasilkan ekonomi rumah tangga. Para prempuan ini tinggal di desa-desa yang kebanyakan laki-lakinya pergi ke kota untuk bekerja. Para perempuan ini dengan demikian harus menanggung beban kerja seperti mengambil air, dan mengambil ranting-ranting pohon untuk bahan bakar sendiri. Demikian pula untuk mencari penghasilan rumah tangga. Akibat penebangan pohon-pohon yang dilakukan oleh perusahaan besar, pohon menjadi semakin langka dan ini menyulitkan kehidupan mereka sehari-hari. Kedua, Di dalam memutuskan kebaikan bagi desa mereka perempuan jarang dilibatkan dalam pengambilan keputusan. Akibatnya, perempuan cenderung tersisih dari penentuan kebutuhan desa mereka, padahal kegiatan desa merupakan kegiatan yang sebagaian besar dijalankan oleh perempuan seperti misalnya penyediaan air bersih.
 Di Korea, ada yang namanya Salimist, sebutan untuk kaum ekofeminis Korea, mempunyai 10 prinsip kehidupan berdasarkan elemen-elemen dasar kebijaksanaan historis dan spiritual dari perempuan korea. Wawasan dari orang-orang di seputar dunia yang bergema bersama para ekofeminis Korea pada pokoknya merindukan kehidupan dalam kepenuhannya. Kesepuluh prinsip itu adalah: hutan, air, api, udara, keadilan-cinta kasih, keindahan, sukacita dan perayaan, kekuatan semut dan laba-laba, tujuh generasi, kemurahan hati Ahimsa (Kyung, 2001). Salimist membuat segalanya menjadi hidup, terutama yang mati seperti bumi. Salimist menyentuh setiap hal seperti seorang pesulap, ia mendaur ulang setiap hal. Bagi mereka seorang aktivis perdamaian yang berpikir seperti gunung, dan para Salimist yang mencintai perempuan, alam, bumi dan tuhan.
Di Venezuela ada sebuah organissi yang mengambil tipe ‘simbolik kultural’ terkenal yakni, AMIGRANSA (Asociation de Amigos en Defensa de la Gran Sabana) atau Asosiasi Sahabat untuk perlindungan Padang Rumput Besar. Sebuah organisasi LSM yang berdiri tahun 1985 hasil inisiatif 5 orang perempuan (Gracia, 1992) Mereka merancang berbagai strategi kelompok.Tujuannya adalah memelihara alam lingkungan dengan menentang berbagai aktivitas yang merusak, dan juga mengajukan berbagai proposal alternatif sebagai jalan keluarnya. Kegiatan yang utama adalah mempertahankan Tanah Nasional Padang Rumput Besar Canaima (La Gran Sabana Canaima) yang merupakan taman nasional kelima terbesar di dunia. Keberhasilan organisasi ini pada dasarnya bertumpu pada kemampuan mereka dalam memperoleh akses dan sekaligus penggunaan informasi dan sistem-sistem simbolik (khususnya media) sebagai suatu mekanisme utama melalui isu-isu lingkungan yang dibangun dan dikonsumsi sebagai suatu budaya politik baru.
Masih di Venezuela, ada sebuah organisasi yang bernama GEMA (Grupo de Estudios Mujer y Ambiente) atau Kelompok Kajian Perempuan dan Lingkungan, adalah organisasi yang didirikan pada tahun 1989 oleh kalangan profesional perempuan. Proyek-proyek utama mereka berkaitan dengan masalah kesehatan dan lingkungan di dua penampungan besar penghuni liar di Caracas, ibukota Venezuela, dan kondisi perempuan di petambangan di wilayah Guayana (Gracia, 1992).  Organissi yang terkait dengan perempuan dan lingkungan yang lainnya adalah AMAVEN atau Asiciacion Venezolana de Mujery Ambiente (Asosiasi Perempuan Venezuela dan Lingkungan) didirikan pada bulan November 1991 dengan tujuan untuk membangun kesadaran lingkungan di antara masyarakat dengan harapan akan mendorong partisipasi dan kontribusi atas konservasi lingkungan. Ini berkaitan dengan perbaikan standar kehidupan dan mendapatkan keuntungankeuntungan yang lebih adil bagi masyarakat, khususnya perempuan kelas bawah (Gracia, 1992).[5]
2.  Gerakan Sabuk Hijau (The Green Belt Movement)
2.1 Latar belakang Gerakan Sabuk Hijau (The Green Belt Movement)
Gerakan Sabuk Hijau (The Green Belt Movement) merupakan suatu organisasi nongovernment yang terbentuk pada tahun 1977 di Kenya, Afrika. Gerakan Sabuk Hijau merupakan suatu organisasi yang di dalamnya membahas tentang penjagaan lingkungan di Afrika. Seperti yang telah diketahui, banyaknya kerusakan lingkungan yang terjadi di Afrika mendorong terbentuknya organisasi gerakan sabuk hijau tersebut.
 Terjadinya krisis kayu bakar, air, pangan, dan kerusakan lingkungan mendorong Wangari Maathai untuk membentuk organisasi pecinta lingkungan di Afrika. Awalnya, Gerakan Sabuk Hijau merupakan aktivitas menanam pohon saja                                                            dengan tidak menyentuh isu-isu demokrasi dan perdamaian, namun Wangari berfikir bahwa pengelolaan lingkungan yang bertanggung jawab itu mustahil akan berkembang tanpa adanya pembukaan ruang-ruang demokratis. Maka, pohon pun menjadi lambang perjuangan demokrasi di Kenya dan sebuah cara untuk menantang penyalahgunaan kekuasaan yang meluas, korupsi, serta mismanajemen lingkungan hidup.[6]
2.2 Tujuan dan Prinsip Gerakan Sabuk Hijau
Seiring dengan berjalannya waktu, Gerakan Sabuk Hijau terus mengajak kelompok-kelompok masyarakat khususnya perempuan terlibat dalam aksi penanaman pohon. Selain itu, Gerakan Sabuk Hijau bukan hanya bermaksud menjejalkan proyek-proyeknya kepada masyarakat, tetapi organisasi ini juga mengajarkan masyarakat untuk menjadi pelindung lingkungan sekitar mereka. Karena sadar bahwa upaya pelestarian lingkungan hidup itu memerlukan komitmen, maka organisasi Gerakan Sabuk Hijau menganjurkan para anggotanya untuk menganut beberapa nilai-nilai berikut secara implisit:
a.       Cinta akan pelestarian lingkungan
b.      Pemberdayaan diri dan komunitas
c.       Kerelawanan
d.      Merasa diri sebagai anggota komunitas hijau
e.       Akuntabilitas, transparansi, dan kejujuran.
2.3  Kendala yang Terjadi Terhadap Perkembangan Organisasi Gerakan Sabuk Hijau di Kenya
 Walaupun organisasi Gerakan Sabuk Hijau telah mencapai banyak hal, tatapi permasalahan yang dihadapi juga tidak sedikit. Baik dari pemerintah, masyarakat, maupun di kantor-kantor pusat Gerakan Sabuk Hijau. Beberapa permasalahan yang terjadi adalah:
Permasalahan yang Dihadapi dari Kalangan Masyarakat.
Meskipun banyak para anggota masyarakat telah memahami pentingnya pelestarian lingkungan, tetapi masih ada sebagian dari mereka yang menganggap konservasi adalah semata-mata tugas pemerintah dan bukan tugas mereka. Belum lagi ada yang beranggapan bahwa karena banyak orang yang telah diajak untuk peduli lingkungan, maka mereka berpikir bahwa bantuan mereka tidak lagi dibutuhkan. Kesalahpahaman ini muncul karena mayoritas warga tidak cukup terdidik dan oleh sebab itu, maka mereka akan sulit untuk memahami antara permasalahan mereka sehari-hari dengan kerusakan lingkungan yang merupakan akar dari sebagian masalah yang mereka hadapi itu.
Kemudian, adanya ketidak jujuran beberapa anggota kelompok dan juga staf pendukung kelompok-kelompok pembibitan telah mengganggu jalannya kampanye penanaman pohon. Hal ini seringkali membuat anggota kelompok yang lain merasa kecewa dan memilih untuk keluar dari keanggotaan organisasi tersebut. Hal ini menyebabkan penyusunan laporan menjadi terhambat dan pencapaian proyek organisasi inipun menjadi terhambat. 
 Selain itu ketidakmampuan beberapa pihak melihat ancaman jangka panjang akibat penelantaran lingkungan. Mereka tidak menyadari bahwa degradasi lingkungan berlangsung secara bertahap, dan pada saat dampaknya sudah langsung terlihat, maka sudah terlambat untuk bisa menerapkan upayaupaya pemulihan yang sederhana dan biaya yang murah.
Permasalahan yang Dihadapi dari Kalangan Pemerintah
 Tata kelola pemerintahan yang kurang baik di Afrika menyebabkan masyarakat menjadi lemah. Sebagian pihak percaya bahwa masyarakat Afrika hidup berkekurangan karena mereka tidak produktif dan kurang insiatif. Namun, sebenarnya adalah kesalahan kelola oleh para pemimpin yang menyebabkan kesengsaraan bagi rakyat dan menimbulkan beberapa kendala yang terus menghambat aktivitas-aktivitas pembangunan.
Kebijakan ekonomi yang buruk dan tingkat korupsi yang tinggi juga merupakan salah satu faktor yang memperlambat pembangunan daerah. Hal itu tentu saja menimbulkan dampak yang buruk pada pembangunan sumber daya manusia melalui naiknya atingkat pengangguran dan kebutuhan biaya hidup yang mahal. Ketika masyarakat hidup dalam kemiskinan, maka mereka tidak mau untuk belajar atau menjaga lingkungan, terlebih lagi bila hal ini tidak berkontribusi langsung terhadap pemenuhan mendesak mereka. Orang yang hidup dalam kemiskinan dan keputusasaan malah mereka tidak akan berpikir panjang untuk merusak lingkungan jika mereka yakin bahwa dengan melakukan hal tersebut maka kebutuhan mereka akan terpenuhi.
Permasalahan yang Dihadapi di Kantor-Kantor Pusat.
 Penanaman pohon bersama kelompok-kelompok perempuan merupakan salah satu upaya untuk mengubah pola hidup masyarakat yang kurang mampu. Akibatnya, staf pendukung yang bisa didapat baik di lapangan maupun di kantorkantor pusat hanya berpendidikan tidak lebih dari sekolah menengah. Meskipun kinerja mereka relatif baik, namun mereka kurang percaya diri dalam menghadapi masaalah dalam organisasi seperti dalam mengemukakan pengalaman dan komitmen. Atas sebab itulah, para profesional cenderung menyepelekan mereka dan memandang mereka sebagai staf rendahan.
 Pada dasarnya, pembangunan komunitas terus menjadi suatu hal yang dianggap sulit. Oleh karena dalam suatu organisasi mengharuskan seluruh anggotanya mendahulukan kepentingan untuk bekerja sama dan secara konsisten memberikan segala hal yang dibutuhkan untuk menghilangkan kendala-kendala yang menghambat perbaikan bagi kehidupan masyarakat.
2.4 Pencapaian Kegiatan yang di Lakukan Oleh Gerakan Sabuk Hijau.
Gerakan Sabuk Hijau memiliki banyak pendukung di tingkat akar rumput. Sebagian besar pendukung dari organuisasi ini adalah petani. Pada dasarnya Kenya merupakan negara dengan perekonomian pedesaan yang mayoritas rakyatnya menggarap pertanian subsisten. Hal tersbut dapat mempermudah melaksanakan aktivitas-aktivitas Sabuk Hijau karena mereka bekerja mengolah tanah lebih sering daripada masyarakat ynag tinggal di wilayah perkotaan. Oleh karena itu, banyak pencapaian Gerakan Sabuk Hijau terjadi di daerah pedesaan melalui para petani. Sementara itu, di pusat-pusat kota, insiatif Gerakan Sabuk Hijau lebih terfokus pada advokasi terutama melakukan perlawanan terhadap privatisasi ruang publik dan hutan.
Adapun manfaat lain dari organisasi ini yaitu:
1.      Penghijauan dan Reboisasi
2.      Meluasnya Wilayah Tutupan Pohon
3.      Perubahan Positif Bagi Kehidupan Ribuan Masyarakat di Pedesaan
4.      Anggota Kelompok Pembibitan Memperoleh Pendapatan Untuk Kegiatan Lanjutan yang Mereka Lakukan
5.      Penciptaan Lapangan Pekerjaan di Internal Gerakan Sabuk Hijau
6.      Meningkatkan Kesadaran Tentang Pentingnya Melestarikan Lingkungan Hidup
7.      Pemberdyaan Individu dan Komunitas
8.      Mobilisasi Masyarakat
9.      Meningkatkan Kesadaran Tentang Perlunya Melindungi Keanekaragaman Hayati Tumbuhan dan Tanaman Pangan
10.  Membaiknya Citra Perempuan [7]


3.      Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI)
3.1 Latar Belakang WALHI
WALHI merupakan forum kelompok masyarakat sipil yang terdiri dari organisasi non-pemerintah/Non Government (Ornop/NGO), Kelompok Pecinta Alam (KPA) dan Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM) yang didirikan pada tanggal 15 Oktober 1980 sebagai reaksi dan keprihatinan atas ketidakadilan dalam pengelolaan sumberdaya alam dan sumber-sumber kehidupan, sebagai akibat dari paradigma dan proses pembangunan yang tidak memihak keberlanjutan dan keadilan.
Sejarah berdirinya WALHI tak bisa dilepaskan dari salah seorang tokoh yang ada di Indonesia yaitu Emil Salim. Setelah dua bulan diangkat sebagai Menteri Lingkungan Hidup pada masa pemerintahan Soeharto, Emil Salim mengadakan pertemuan dengan beberapa kawannya, yaitu Bedjo Rahardjo, Erna Witoelar, Ir. Rio Rahwartono (LIPI), dan Tjokropranolo (Gubernur DKI), untuk membicarakan agar lingkungan menjadi sebuah gerakan dalam masyarakat. Bukan hanya itu tujuannya, tetapi Emil Salim merasa bahwa ia harus belajar tentang lingkungan, karena ia melihat bahwa lingkungan ini adalah sesuatu yang baru dan belum populer di Indonesia. Ia ingin terjun ke tengah-tengah masyarakat agar persoalan-persoalan lingkungan di masyarakat bisa diketahui dan dicarikan solusi oleh masyarakat. Untuk itulah, ia harus mencari jalan keluar agar bola salju yang bernama ‘lingkungan’ itu menggelinding lebih besar.
Setelah diadakan beberapa pertemuan-pertemuan, sidang perundingan, mencari kelompok pendukung lingkungan ini, kemudian di beri organisasi ini di sahkan oleh ornop dan diberi nama wahana lingkungan hidup Indonesia (WALHI), pemberian nama ini  dikarenakan organisasi tersebut akan bergerak pada bidang lingkungan hidup maka ornop sepakat memberikan tambahan Lingkungan Hidup Indonesia pada akhir nama Wahana tersebut sehingga jadilah nama organisasi tersebut “Wahana Lingkungan Hidup Indonesia” dan disingkat menjadi “WALHI”. Nama ini dianggap independen, tidak underbow kepada salah satu organisasi/parpol, serta mencerminkan nama khas Indonesia atau bukan nama asing.
3.2 Visi, Misi dan Peran WALHI
a.       Visi

WALHI-  berusaha mewujudkan suatu tatanan sosial, ekonomi dan politik yang adil dan demokatis yang menjamin hak-hak rakyat atas sumber-sumber kehidupan dan lingkungan hidup yang sehat.

b.   Misi dan Peran

WALHI-  mengemban misi sebagai wahana perjuangan penegakan kedaulatan rakyat dan demokrasi untuk pemenuhan keadilan, pemerataan sosial, pengawasan rakyat atas kebijakan pengelolaan lingkungan hidup dan sumber-sumber kehidupan rakyat, serta penyelenggaraan kepemerintahan yang adil dan demokratis.

WALHI-Sumut adalah jaringan pembela lingkungan hidup yang pluralistik dan independen yang aktif melakukan studi kebijakan, mensinergikan kekuatan antar organisasi non pemerintah dalam advokasi lingkungan hidup dan sumber-sumber kehidupan rakyat (advokasi hutan, tambang, air, pesisir dan laut, reformasi hukum dan pengelolaan sumber daya alam, energi, pencemaran, pengelolaan bencana, dan globalisasi), meningkatkan keterlibatan masyarakat dalam pengelolaan lingkungan hidup, melakukan pengelolaan informasi, memfasilitasi dialog antara masyarakat dengan beebagai kelompok, menggalang dan memobilisasikan  sumber daya publik serta mengembangkan kemampuan sumber daya organisasi. [8]

4.      Koalisi Pemuda Hijau Indonesia atau KOPHI
4. 1 Latar Belakang KOPHI
Koalisi Pemuda Hijau Indonesia atau KOPHI pada awalnya dibentuk oleh sekelompok pemuda dari Jakarta yang memiliki kepedulian terhadap berbagai permasalahan lingkungan yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari (KOPHI, 2010). KOPHI resmi berdiri pada tanggal 28 Oktober 2010 dan diresmikan pada tanggal 30 Oktober 2010. KOPHI didirikan dengan tujuan utama untuk menjadi wadah bagi anak muda yang ingin menjadi bagian dari solusi masalah perubahan iklim sehingga mereka dapat bergerak untuk melakukan sebuah tindakan secara kolektif dan berkelanjutan demi terciptanya lingkungan yang lestari. Hingga tahun 2013, KOPHI sudah tersebar di 17 Provinsi di Indonesia, dan salah satunya adalah di Daerah Istimewa Yogyakarta. KOPHI Yogyakarta sendiri secara resmi berdiri pada 22 November 2011.
4.2 Kegiatan KOPHI
KOPHI menjadi sarana edukasi sehari-hari bagi pelatihan pembuatan lubang biopori di sekolah-sekolah, kegiatan pemberdayaan masyarakat desa yang dsebut sebagai kegiatan Gerakan Aksi Sosial dan Lingkungan (Gelas KOPHI), kampanye Aksi Wisata Bersih bersama komunitas, edukasi sanitasi air untuk anak jalanan, pelatihan dan pembibitan jamur, penghidupan kembali kegiatan taman kota di Bandung, serta edukasi lingkungan bagi anak-anak. Semua kegiatan itu dikemas dalam sebuah program bernama KOPHI Insomnia. KOPHI juga bekerja sama dengan berbagai LSM swadaya pro-lingkungan lainnya, seperti bekerja sama dengan WWF Indonesia dalam penyelenggaraan bengkel Earth Hour pada tahun 2011[9].






PENUTUP
I.       Kesimpulan

Berbagai permasalahan lingkungan yang terjadi kemudian memicu munculnya gerakan-gerakan sosial di bidang lingkungan hidup. Keberadaan garakan sosial dalam bidang lingkungan hidup merupakan proses panjang yang senantiasa mengiringi perkembangan dan kondisi ekologi bangsa ini. Menurut Purnomo dkk (1989) dalam konteks sejarah gerakan lingkungan hidup di Indonesia yang termanifestasi dalam bentuk NGO (Non Governmental Organization) atau secara umum dikenal sebagai Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), sebenarnya telah masuk dalam agenda gerakan semenjak 1970-an (dalam Suharko, 1998). Gerakan lingkungan hidup di Indonesia memperoleh momentum penguatan pada periode 1980-an, Eldridge (1995) menyebut periode ini sebagai ‘gelombang kedua’ (second wave) aktivitas NGO atau LSM di Indonesia. Pada periode ini, tepatnya pada 15 Oktober 1980 muncul salah satu gerakan sosial di bidang lingkungan bernama WALHI (Wahana Lingkungan Hidup).

Di Indonesia jumlah gerakan lingkungan dari masa ke masa semakin bertambah banyak. Pada kurun waktu 1995, diperkirakan jumlah NGO lingkungan yang ada di Indonesia mencapai angka antara 1.000-2.000
Gerakan lingkungan di Indonesia dapat dikatakan sangat terpengaruh oleh gerakan lingkungan di negara-negara barat. Mayoritas gerakan lingkungan di Indonesia serta para aktivis-aktivisnya seringkali hanya menyoroti dan mempersoalkan dampak proyek-proyek yang bersifat ‘mercusuar’ atau proyek-proyek raksasa (Aditjondro, 2003). Seiring berkembangnya waktu, kini mulai banyak bermunculan gerakan lingkungan baru yang tidak hanya mengusung isu-isu makro saja, akan tetapi juga menjangkau berbagai isu dan permasalahan di tingkat mikro. Salah satu contohnya adalah berdirinya sebuah organisasi gerakan sosial di bidang lingkungan hidup yang bernama KOPHI (Koalisi Pemuda Hijau Indonesia).

II.    Kritik dan saran
Demikian makalah mengenai gerakan sosial budaya untuk lingkungan  yang dapat kami buat dan kami sampaikan. Mudah-mudahan dapat bermanfaat bagi kita semua. Apabila ada kesalahan dalam penulisan, ataupun ada refrensi yang kurang benar dalam pembahasan, kami mohon maaf yang sebesar-besarnya. Dan kami menerima saran dan kritikan dari pembaca demi kebaikan kami untuk selanjutnya. Tiada kesempurnaan bagi kita, kecuali kesempurnaan itu hanya milik Allah semata.

DAFTAR PUSTAKA
_______Tri Marhaeni Pudji Astuti. Ekofeminisme dan Peran Perempuan dalam Lingkungan. Indonesian Journal of Conservation Vol. 1 No. 1 - Juni 2012  (diunduh pada : Kamis, 1 Desember 2016)
_______Desi Efrika Devita & Tri Joko Waluyo. Pengaruh Gerakan Sabuk Hijau (The Green Belt Movement) Terhadap Kebijakan Pemerintah Kenya Dalam Menjaga Keasrian Lingkungan Hidup Di Kenya . Jurnal Online Mahasiswa Bidang Ilmu Sosial dan Politik    Vol 1 No 1. Universitas Riau.
_______ Horton B. Paul dan Chester L. Hunt. Sosiologi. 1984.Jakarta: Gelora Aksara Pramata.
_______ Martono. Nanang. Sosiologi Perubahan Sosial. 2014. Jakarta: Rajawali Pers.
_______ Sujatmiko. Jurnal Ilmu Sosial dan politik,1-34 2014.(diunduh pada : Minggu, 10 Desember 2016)
_______ Faisal, Dodi and Ahmad , Aminudin and Sugeng , Suharto (2012) PERAN WALHI BENGKULU DALAM PENGENDALIAN PENCEMARAN SUNGAI AIR BENGKULU AKIBAT PENAMBANGAN BATU BARA. Undergraduated thesis, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UNIB. .(diunduh pada : Minggu, 10 Desember 2016)
_______ Andri Prasetiyo. 2014. VOLUNTERISME PADA KOALISI PEMUDA HIJAU INDONESIA REGIONAL YOGYAKARTA. Undergraduated thesis, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UNY.(diunduh pada : Minggu, 10 Desember 2016)


[1] Nanang Martono, Sosiologi Perubahan Sosial, Jakarta, Rajawali Pers, 2014, hlm.392
[2] Paul B. Horton dan Chester L. Hunt, Sosiologi, Jakarta, Gelora Aksara Pramata, 1984, hlm.195
[3] Jurnal Ilmu Sosial dan politik,1-34 Sujatmiko 2014.(diunduh pada : Minggu, 10 Desember 2016)

[4]Tri Marhaeni Pudji Astuti. Ekofeminisme dan Peran Perempuan dalam Lingkungan. Indonesian Journal of Conservation Vol. 1 No. 1 - Juni 2012  (diunduh pada : Kamis, 1 Desember 2016)


[5] Tri Marhaeni Pudji Astuti. Ekofeminisme dan Peran Perempuan dalam Lingkungan. Indonesian Journal of Conservation Vol. 1 No. 1 - Juni 2012  (diunduh pada : Kamis, 1 Desember 2016)
[6] Desi Efrika Devita & Tri Joko Waluyo. Pengaruh Gerakan Sabuk Hijau (The Green Belt Movement) Terhadap Kebijakan Pemerintah Kenya Dalam Menjaga Keasrian Lingkungan Hidup Di Kenya . Jurnal Online Mahasiswa Bidang Ilmu Sosial dan Politik Vol 1 No 1. Universitas Riau. (diunduh pada : Kamis, 1 Desember 2016)

[7]  Desi Efrika Devita & Tri Joko Waluyo. Pengaruh Gerakan Sabuk Hijau (The Green Belt Movement) Terhadap Kebijakan Pemerintah Kenya Dalam Menjaga Keasrian Lingkungan Hidup Di Kenya . Jurnal Online Mahasiswa Bidang Ilmu Sosial dan Politik Vol 1 No 1. Universitas Riau. (diunduh pada : Kamis, 1 Desember 2016)

[8] Faisal, Dodi and Ahmad , Aminudin and Sugeng , Suharto (2012) PERAN WALHI BENGKULU DALAM PENGENDALIAN PENCEMARAN SUNGAI AIR BENGKULU AKIBAT PENAMBANGAN BATU BARA. Undergraduated thesis, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UNIB. .(diunduh pada : Minggu, 10 Desember 2016
[9] Andri Prasetiyo. 2014. VOLUNTERISME PADA KOALISI PEMUDA HIJAU INDONESIA REGIONAL YOGYAKARTA. Undergraduated thesis, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UNY .(diunduh pada : Minggu, 10 Desember 2016)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar