Gerakan Sosial Budaya untuk Lingkungan
Makalah
Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah: Sosiologi Antropologi Lingkungan
Dosen Pengampu: Ahmad
Faqih, S.Ag, M.Si

Disusun Oleh:
Siti Ani
Munasaroh (1501046002)
PENGEMBANGAN
MASYARAKAT ISLAM
FAKULTAS
DAKWAH DAN KOMUNIKASI
UNIVERSITAS
ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2016
PENDAHULUAN
I.
Latar Belakang
Manusia adalah makhluk hidup yang dapat dilihat dari dua sisi, yaitu segi
makhluk biologis dan makhluk sosial. Sebagai makhluk biologis, makhluk manusia
atau “homo sapiens” sama seperti makhluk hidup lainnya yang mempunyai peran
masing-masing dalam menunjang sistem kehidupan. Sebagai makhluk sosial, manusia
merupakan bagian dari sistem sosial masyarat secara berkelompok membentuk
budaya. Ada perbedaan mendasar tentang asal mula manusia, kelompok evolusiois
pengikut Darwin menyatakan bahwa manusia berasal dari kera yang berevolusi
selama ratusan ribu tahun, berbeda dengan kelompok yang menyanggah teori
evolusi melalui teori penciptaan, yang menyatakan bahwa manusia itu diciptakan
oleh Allah. Pemahaman tentang hidup dan kehidupan, itu tidak mudah. Makin
banhak hal yang anda lihat tentang
gejala adanya hidup dan kehidupan, makin nampak bahwa hidup itu sesuatu yang
rumit. Pada individu dengan organisasi yang kompleks, hidup ditandai dengan
eksistensi vital, yaitu: dimulai dengan prosesmetabolisme, kemudin pertumbuhan,
perkembangan, reproduksi dan adaptasi internal, sampai berakhirnya segenap
proses itu bagi suatu “individu” tentang
gejala adanya hidupdan kehidupan, makin nampak bahwa hidup itu sesuatu yang
rumit. Pada individu dengan organisasi yang kompleks, hidup ditandai dengan
eksistensi vital, yaitu: dimulai dengan proses metabolisme, kemudian
pertumbuhan, perkembangan, reproduksi dan adaptasi internal, sampai berakhirnya
segenap proses itu bagi suatu “individu” lain seperti sel-sel, jaringan,
organ-organ dan sistem organisme yang termasuk dalam alam mikroskopis, batasan
hidup adalah tidak jelas atau smar-samar.
II.
Rumusan Masalah
1.
Apa
pengertian gerakan sosial, budaya dan Lingkungan?
2.
Apa
saja gerakan sosial budaya untuk lingkungan?
PEMBAHASAN
1. Pengertian gerakan sosial, budaya dan Lingkungan
Secara umum, gerakan
sosial dimaknai sebagai sebuah gerakan yang lahir dari sekelompok individu
untuk memperjuangkan kepentingan, aspirasi atau menuntut perubahan yang
ditujukan untuk kelompok tertentu, misalnya adalah pemerintah atau penguasa.
Namun gerakan sosial ini dapat berpihak sebagai gerakan sosial yang pro maupun
kontra dengan pemerintah (penguasa). Gerakan sosial merupakan bentuk
kolektivitas orang-orang di dalamnya untuk membawa atau menentang perubahan.
Gerakan sosial sering kali tidak berwujud sebagai organisasi formal, namun
dapat pula merupakan bagian sebuah organisasi tertentu, sehingga tidak
mengherankan apabila di dalam organisasi terdapat kelompok-kelompok yang saling
bertentangan dan masing-masing mewujudkan dirinya dalam bentuk gerakan sosial.
Sztompka (1994)
memeberikan batasan definisi gerakan sosial. Menurutnya, gerakan sosial harus
memiliki empat kriteria, yaitu: pertama,
adanya kolektifitas, kedua, memiliki
tujuan bersama yaitu mewujudkan
perubahan tertentudalam masyarakat mereka yang di tetapkan partisipan
menurut cara yang sama, ketiga,
kolektivitasnya relatif tersebar namun lebih rendah derajatnya dari pada
organisasi formal, keempat,
tindakannya memiliki gerakan spontanitas tinggi namun tidak terlembaga dan
bentuknya tidak konvensional.[1]
Gerakan sosial lahir pada
mulanya sebagai suatu kelompok orang yang tidak puas terhadap keadaan. Kelompok
itu semula tidak terorganisasi dan terarah, serta tidak memiliki rencana.
Orang-orang saking berbagi dan mengeluh, para cendekiawan menulis karangan,
para warga negara menulis surat pembaca editor, orang melakukan eksperimen
menyangkut bentuk eksperimen baru. Pemimpin dan organisasi pada kebanyakan
gerakan biasanya muncul tidak sama setelah situasi demikian tercipta.
Setelah mengalami masa
tahap aktif yang jarang melebihi masa satu atau dua dasawarsa, gerakan itu lalu
mengalami penurunan kegiatan. Kadangkala gerakan itu sempat menciptakan
organisasi permanen atau suatu perubahan (hak pilih bagi kaum wanita) dan
sering kali gerakan itu hilang begitu saja tanpa bekas yang berarti.[2]
Lingkungan hidup adalah suatu konsep holistik yang berwujud di bumi ini
dalam bentuk, susunan dan fungsi interaktif antara semua pengeda baik yang
insani (biotik) maupun yang ragawi (abiotik). Keduanya saling mempengaruhi dan
menentukan baik bentuk dan perwujudan bumi dimana berlangsungnya kehidupan
yaitu biofsir maupun bentuk dan perwujudan dari kehidupan itu sendiri, seperti
yang disebutkan dalam hipotesis gaia. Lingkungan hidup yang dimaksud tersebut
tidak bisa lepas dari kehidupan manusia, oleh karena itu yang dimaksud dengan
lingkungan hidup adalah lingkungan hidup manusia.
Lingkungan adalah suatu
media dimana makhluk hidup tinggal, mencari penghidupannya dan memiliki
karakter serta fungsi yang khas yang mana terkait secara timbal balik dengan
keberadaan makhluk hidup yang menempatinya, terutama manusia yang memiliki
peranan kompleks dan riil.
2.
Gerakan Sosial Budaya
Untuk Lingkungan
Berbagai permasalahan lingkungan
yang terjadi kemudian memicu munculnya gerakan-gerakan sosial di bidang
lingkungan hidup. Keberadaan garakan sosial dalam bidang lingkungan hidup
merupakan proses panjang yang senantiasa mengiringi perkembangan dan kondisi
ekologi bangsa ini.
Menurut Purnomo dkk (1989) dalam
konteks sejarah gerakan lingkungan hidup di Indonesia yang termanifestasi dalam
bentuk NGO (Non Governmental Organization) atau secara umum dikenal
sebagai Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), sebenarnya telah masuk dalam agenda
gerakan semenjak 1970-an (dalam Suharko, 1998). Gerakan lingkungan hidup di
Indonesia memperoleh momentum penguatan pada periode 1980-an, Eldridge (1995)
menyebut periode ini sebagai ‘gelombang kedua’ (second wave) aktivitas
NGO atau LSM di Indonesia. Pada periode ini, tepatnya pada 15 Oktober 1980
muncul salah satu gerakan sosial di bidang lingkungan bernama WALHI (Wahana
Lingkungan Hidup).
Di Indonesia jumlah gerakan
lingkungan dari masa ke masa semakin bertambah banyak. Pada kurun waktu 1995,
diperkirakan jumlah NGO lingkungan yang ada di Indonesia mencapai angka antara
1.000-2.000, (Sardi dalam Suharko, 2006)[3] beberapa gerakan sosial untuk lingkungan antara
lain:
1.
Ekofeminisme
1.1 Latar Belakang gerakan Ekofeminisme
Ekofeminisme
merupakan sebuah gerakan yang muncul di kalangan perempuan di berbagai belahan
dunia dari berbagai profesi sebagai akibat adanya ketidak adilan terhadap
perempuan yang selalu dimitoskan dengan alam. Pembahasan tentang lingkungan
juga terkait dengan ekofeminisme sebagai implikasi kesadaran feminis yang
tinggi di kalangan ilmuwan perempuan di perguruan tinggi di bergagai belahan
dunia. Kesadaran para perempuan feminis
terhadap eksploitasi alam membuat mereka bangkit berperan dalam penyelamatan lingkungan
hidup sehingga tercipta kehidupan yang eco-friendly dan Womenfriendly. Kunci
dari hal itu adalah melibatkan dan empati terhadap perempuan dalam perannya
dalam lingkungan hidup. Oleh karenanya perlu memahami kearifan lokal sebagai
sebuah acuan dengan dekonstruksi kearifan lokal agar muncul rekonstruksi
kearifan lokal baru yang ramah lingkungan.
Kata
“eko” dalam ekologi berasal dari bahasa Yunani Oikos, yang berarti rumah tempat tinggal; tempat tinggal semua
perempuan dan laki-laki, hewan, tumbuhan, air, tanah, udara, dan matahari
(Isshiki, 2000). Ekologi mempelajari hubungan antara manusia dan lingkungan
hidup; mengkaitkan antara ilmu alam dengan ilmu kemanusiaan secara
interdispliner. Kesadaran ekologi hendak melihat kenyataan dunia ini secara integral
holistik, bahwa dunia yang satu itu ternyata mengandung banyak keanekaragaman
(Buntaran, 1996). Ekologi sekaligus merupakan reaksi kritis atas pandangan umum
terhadap dunia yang dualistis-dikotomis.
Usaha
pelestarian lingkungan dimengerti sebagai kesediaan manusia mengakui
keterbatasannya, bahwa ia tidak pernah dapat memahami sepenuhnya kerja dunia
dan semua unsurnya. Maka manusia mau bekerjasama dengan alam lingkungan untuk
mengarahkan hidup ini secara bersama-sama kepada kesejahteraan seluruh anggota
komunitas dunia, itu berarti mengakui dan menghargai hak hidup setiap makhluk
sebagai subyek yang mandiri dan bermartabat dalam dunia yang konkret integral
(Darmawati, 2002). Feminisme muncul untuk menanggapi masalah ketimpangan antar
jenis kelamin, diskriminasi, penindasan, dan kekerasan terhadap perempuan.
Gerakan feminisme dan ekologis mempunyai tujuan yang saling memperkuat,
keduanya hendak membangun pandangan terhadap dunia prakteknya yang tidak
berdasarkan model-model yang patriarkhis dan dominasi-dominasi. Ada kaitan yang
sangat penting antara dominasi terhadap perempuan dan dominasi terhadap alam.
Kehancuran ekologi saat ini akibat pandangan dan praktek yang andosentris.
Kaitan antara feminisme dan lingkungan hidup adalah historis kausal. Para filsuf
ekofeminisme berpendapat konsep dasar dari dominasi kembar terhadap alam dan
perempuan adalah dualisme nilai dan hirarki nilai. Maka peran etika feminisme
dan lingkungan hidup adalah mengekspos dan membongkar dualisme ini serta
menyusun kembali gagasan filosofis yang mendasarinya (Darmawati, 2002).
Ekologi merupakan kajian yang menaruh
perhatian kepada keterkaitan antara kehidupan manusia dan lingkungannya.[4]
1.2 Peran
Perempuan Dalam Penyelamatan Lingkungan
Menurut Strong (1995) kunci untuk
memperbaiki bumi terletak pada penghormatan terhadap hukum alam yang dipahami
oleh masyarakat asli tradisional. Masyarakat ini berbicara dengan kumpulan
instruksi yang asli yang diberikan kepada mereka oleh Sang Pencipta. Mereka
mengetahuinya dan menghidupi hukum ini, yang menuntun relasi manusia dengan
empat elemen pemberi kehidupan, yakni, tanah, air, udara, dan api (energi);
serta mengajarkan penghormatan kepada kesatuan dan kesinambungan dari seluruh
kehidupan. “Tidak ada jalan lain untuk perdamaian kecuali semua orang harus
meninggalkan gerbang istana persepsi yang relatif, turun ke padang rumput, dan
kembali ke jantung alam yang non-aktif. Marilah kita katakana bahwa kunci
perdamaian terletak dekat di bumi”.
Di manapun, di belahan bumi ini
sebenarnya semua manusia menentang kehancuran dan perusakan alam, hanya saja
gerakan perempuan terutama perempuan pedesaan atau pinggiran lebih nyata
terlihat pembelaannya terhadap kerusakan lingkungan. Hal ini dapat dipahami
karena biasanya kerusakan lingkungan dimulai adanya perambahan dan penebangan
hutan, pencemaran sungai besar dengan pembuangan limbah yang tentu saja mencari
tempat yang jauh di pedalaman, juga kebocoran reaktor nuklir yang sudah
tersembunyi tempatnya jauh di pinggiran kota. Sementara itu di sisi lain
kehidupan di tempat-tempat seperti tersebut di atas didominasi oleh kaum
perempuan dan anak. Perempuan dan anak menjadi penghuni tetap lingkungan yang
tercemari dan dirambah tersebut, sementara para laki-laki pergi mencari nafkah
ke kota. Dengan asumsi demikian maka sangat wajar jika gerakan perempuan dalam
penyelematan lingkungan hidup menjadi sangat nyata dan penting, bahkan menjadi
pioneer ketika para laki-laki justru tidak peduli dan bersekutu dengan
kepentingan kapitalis dan industrialis. Berbagai
contoh peran perempuan dalam penyelamatan lingkungan di berbagai negara dapat
dilihat seperti berikut:
Pengalaman
orang-orang di Irian Jaya dalam berinteraksi dengan alam lingkungan misalnya
tidak memisahkan aktivitas ekonomi dari pengalaman beragamanya.
Perempuan-perempuan irian menghalangi para suami-suami mereka yang akan
menebang pohon-pohon di hutan dengan berpuisi dan mengitari bahkan mendekap
pohon-pohon itu. Dan ini terbukti berhasil (Darmawati, 2002).
Apa yang
dilakukan oleh perempuan Irian Jaya ini mirip dengan yang terjadi di India.
Pada tahun 1974, 74 perempuan di kota Reni, bagian utara India, bersepakat
untuk menghentikan penebangan hutan. Mereka memeluk erat-erat pohon-pohon yang
akan ditebang oleh mesin pemotong kayu yang dilakukan oleh perusahaanperusahaan
besar. Gerakan para perempuan ini dikenal dengan sebutan gerakan Chipko (dalam bahasa Hindi bererti
“memeluk”). Gerakan ini berhasil menyelamatkan sebanyak 12.000 km areal hutan.
Gerakan ini pada dasarnya mempunyai unsur ekonomi maupun budaya. Unsur ekonomi
karena adanya sentimen para pada para kontraktorkontraktor besar yang
menggunduli hutan penduduk asli untuk
kepentingan bisnis para kontraktor. Unsur budaya karena kepercayaan yang
tertanam dalam masyarakat untuk melindungi hutan nenek-moyang mereka. Hutan
bagi orang India mempunyai makna sakral yang dikenal dengan sebutan Aranya
Sanskrit (Warren, 2000). Gerakan Chipko dan
kepercayaan Aranya Sanskrit menurut Jayanta Bandoyopadhay dan Vandana Shiva,
dua orang aktivis lingkungan ternama, adalah memiliki basis ekologis yang kuat
(Warren, 2000). Selain basis ekologis yang kuat gerakan Chipko mempunyai perspektif perempuan yang tangguh. Gerakan Chipko terdiri dari para perempuan dari
organisasi “akar rumput” yang sangat sadar akan keterkaitan isu perempuan
dengan lingkungan. Dalam hal kasus penebangan hutan tersebut, para anggota
gerakan Chipko menilai kepentingan perempuan telah dikorbankan demi kepentingan
bisnis. Ada dua hal yang menarik untuk disimak argumentasi gerakan Chipko. Pertama, perempuan di India,
seperti di Negara berkembang lainnya, merupakan korban pertama dari penebangan
hutan. Pohon-pohon memberikan empat kebutuhan utama bagi keperluan rumah
tangga: makanan, bahan bakar, produk-produk rumah (termasuk peralatan
membersihkan rumah, peralatan masak), dan menghasilkan ekonomi rumah tangga.
Para prempuan ini tinggal di desa-desa yang kebanyakan laki-lakinya pergi ke
kota untuk bekerja. Para perempuan ini dengan demikian harus menanggung beban
kerja seperti mengambil air, dan mengambil ranting-ranting pohon untuk bahan
bakar sendiri. Demikian pula untuk mencari penghasilan rumah tangga. Akibat
penebangan pohon-pohon yang dilakukan oleh perusahaan besar, pohon menjadi
semakin langka dan ini menyulitkan kehidupan mereka sehari-hari. Kedua, Di
dalam memutuskan kebaikan bagi desa mereka perempuan jarang dilibatkan dalam
pengambilan keputusan. Akibatnya, perempuan cenderung tersisih dari penentuan
kebutuhan desa mereka, padahal kegiatan desa merupakan kegiatan yang sebagaian
besar dijalankan oleh perempuan seperti misalnya penyediaan air bersih.
Di Korea, ada yang namanya Salimist, sebutan untuk
kaum ekofeminis Korea, mempunyai 10 prinsip kehidupan berdasarkan elemen-elemen
dasar kebijaksanaan historis dan spiritual dari perempuan korea. Wawasan dari
orang-orang di seputar dunia yang bergema bersama para ekofeminis Korea pada
pokoknya merindukan kehidupan dalam kepenuhannya. Kesepuluh prinsip itu adalah:
hutan, air, api, udara, keadilan-cinta kasih, keindahan, sukacita dan perayaan,
kekuatan semut dan laba-laba, tujuh generasi, kemurahan hati Ahimsa (Kyung,
2001). Salimist membuat segalanya menjadi hidup, terutama yang mati seperti
bumi. Salimist menyentuh setiap hal seperti seorang pesulap, ia mendaur ulang
setiap hal. Bagi mereka seorang aktivis perdamaian yang berpikir seperti
gunung, dan para Salimist yang mencintai perempuan, alam, bumi dan tuhan.
Di Venezuela ada
sebuah organissi yang mengambil tipe ‘simbolik kultural’ terkenal yakni,
AMIGRANSA (Asociation de Amigos en Defensa de la Gran Sabana) atau Asosiasi
Sahabat untuk perlindungan Padang Rumput Besar. Sebuah organisasi LSM yang
berdiri tahun 1985 hasil inisiatif 5 orang perempuan (Gracia, 1992) Mereka
merancang berbagai strategi kelompok.Tujuannya adalah memelihara alam
lingkungan dengan menentang berbagai aktivitas yang merusak, dan juga
mengajukan berbagai proposal alternatif sebagai jalan keluarnya. Kegiatan yang
utama adalah mempertahankan Tanah Nasional Padang Rumput Besar Canaima (La Gran
Sabana Canaima) yang merupakan taman nasional kelima terbesar di dunia. Keberhasilan
organisasi ini pada dasarnya bertumpu pada kemampuan mereka dalam memperoleh
akses dan sekaligus penggunaan informasi dan sistem-sistem simbolik (khususnya
media) sebagai suatu mekanisme utama melalui isu-isu lingkungan yang dibangun
dan dikonsumsi sebagai suatu budaya politik baru.
Masih di
Venezuela, ada sebuah organisasi yang bernama GEMA (Grupo de Estudios Mujer y
Ambiente) atau Kelompok Kajian Perempuan dan Lingkungan, adalah organisasi yang
didirikan pada tahun 1989 oleh kalangan profesional perempuan. Proyek-proyek
utama mereka berkaitan dengan masalah kesehatan dan lingkungan di dua
penampungan besar penghuni liar di Caracas, ibukota Venezuela, dan kondisi
perempuan di petambangan di wilayah Guayana (Gracia, 1992). Organissi yang terkait dengan perempuan dan
lingkungan yang lainnya adalah AMAVEN atau Asiciacion Venezolana de Mujery
Ambiente (Asosiasi Perempuan Venezuela dan Lingkungan) didirikan pada bulan
November 1991 dengan tujuan untuk membangun kesadaran lingkungan di antara
masyarakat dengan harapan akan mendorong partisipasi dan kontribusi atas konservasi
lingkungan. Ini berkaitan dengan perbaikan standar kehidupan dan mendapatkan
keuntungankeuntungan yang lebih adil bagi masyarakat, khususnya perempuan kelas
bawah (Gracia, 1992).[5]
2. Gerakan Sabuk
Hijau (The Green Belt Movement)
2.1 Latar belakang Gerakan Sabuk Hijau (The
Green Belt Movement)
Gerakan Sabuk Hijau
(The Green Belt Movement) merupakan suatu organisasi nongovernment yang
terbentuk pada tahun 1977 di Kenya, Afrika. Gerakan Sabuk Hijau merupakan suatu
organisasi yang di dalamnya membahas tentang penjagaan lingkungan di Afrika.
Seperti yang telah diketahui, banyaknya kerusakan lingkungan yang terjadi di
Afrika mendorong terbentuknya organisasi gerakan sabuk hijau tersebut.
Terjadinya krisis kayu bakar, air, pangan, dan
kerusakan lingkungan mendorong Wangari Maathai untuk membentuk organisasi
pecinta lingkungan di Afrika. Awalnya, Gerakan Sabuk Hijau merupakan aktivitas
menanam pohon saja
dengan
tidak menyentuh isu-isu demokrasi dan perdamaian, namun Wangari berfikir bahwa
pengelolaan lingkungan yang bertanggung jawab itu mustahil akan berkembang
tanpa adanya pembukaan ruang-ruang demokratis. Maka, pohon pun menjadi lambang
perjuangan demokrasi di Kenya dan sebuah cara untuk menantang penyalahgunaan
kekuasaan yang meluas, korupsi, serta mismanajemen lingkungan hidup.[6]
2.2
Tujuan dan Prinsip Gerakan Sabuk Hijau
Seiring dengan berjalannya waktu, Gerakan Sabuk
Hijau terus mengajak kelompok-kelompok masyarakat khususnya perempuan terlibat dalam
aksi penanaman pohon. Selain itu, Gerakan Sabuk Hijau bukan hanya bermaksud
menjejalkan proyek-proyeknya kepada masyarakat, tetapi organisasi ini juga
mengajarkan masyarakat untuk menjadi pelindung lingkungan sekitar mereka.
Karena sadar bahwa upaya pelestarian lingkungan hidup itu memerlukan komitmen,
maka organisasi Gerakan Sabuk Hijau menganjurkan para anggotanya untuk menganut
beberapa nilai-nilai berikut secara implisit:
a. Cinta
akan pelestarian lingkungan
b. Pemberdayaan
diri dan komunitas
c. Kerelawanan
d. Merasa
diri sebagai anggota komunitas hijau
e. Akuntabilitas,
transparansi, dan kejujuran.
2.3 Kendala yang Terjadi Terhadap Perkembangan
Organisasi Gerakan Sabuk Hijau di Kenya
Walaupun
organisasi Gerakan Sabuk Hijau telah mencapai banyak hal, tatapi permasalahan
yang dihadapi juga tidak sedikit. Baik dari pemerintah, masyarakat, maupun di
kantor-kantor pusat Gerakan Sabuk Hijau. Beberapa permasalahan yang terjadi
adalah:
Permasalahan yang
Dihadapi dari Kalangan Masyarakat.
Meskipun
banyak para anggota masyarakat telah memahami pentingnya pelestarian
lingkungan, tetapi masih ada sebagian dari mereka yang menganggap konservasi
adalah semata-mata tugas pemerintah dan
bukan tugas mereka. Belum lagi ada yang beranggapan bahwa karena banyak orang
yang telah diajak untuk peduli lingkungan, maka mereka berpikir bahwa bantuan
mereka tidak lagi dibutuhkan. Kesalahpahaman ini muncul karena mayoritas warga
tidak cukup terdidik dan oleh sebab itu, maka mereka akan sulit untuk memahami
antara permasalahan mereka sehari-hari dengan kerusakan lingkungan yang
merupakan akar dari sebagian masalah yang mereka hadapi itu.
Kemudian,
adanya ketidak jujuran beberapa anggota kelompok dan juga staf pendukung
kelompok-kelompok pembibitan telah mengganggu jalannya kampanye penanaman
pohon. Hal ini seringkali membuat anggota kelompok yang lain merasa kecewa dan
memilih untuk keluar dari keanggotaan organisasi tersebut. Hal ini menyebabkan
penyusunan laporan menjadi terhambat dan pencapaian proyek organisasi inipun
menjadi terhambat.
Selain itu ketidakmampuan beberapa pihak
melihat ancaman jangka panjang akibat penelantaran lingkungan. Mereka tidak
menyadari bahwa degradasi lingkungan berlangsung secara bertahap, dan pada saat
dampaknya sudah langsung terlihat, maka sudah terlambat untuk bisa menerapkan
upayaupaya pemulihan yang sederhana dan biaya yang murah.
Permasalahan yang
Dihadapi dari Kalangan Pemerintah
Tata kelola pemerintahan yang kurang baik di
Afrika menyebabkan masyarakat menjadi lemah. Sebagian pihak percaya bahwa
masyarakat Afrika hidup berkekurangan karena mereka tidak produktif dan kurang
insiatif. Namun, sebenarnya adalah kesalahan kelola oleh para pemimpin yang
menyebabkan kesengsaraan bagi rakyat dan menimbulkan beberapa kendala yang
terus menghambat aktivitas-aktivitas pembangunan.
Kebijakan
ekonomi yang buruk dan tingkat korupsi yang tinggi juga merupakan salah satu
faktor yang memperlambat pembangunan daerah. Hal itu tentu saja menimbulkan
dampak yang buruk pada pembangunan sumber daya manusia melalui naiknya atingkat
pengangguran dan kebutuhan biaya hidup yang mahal. Ketika masyarakat hidup
dalam kemiskinan, maka mereka tidak mau untuk belajar atau menjaga lingkungan,
terlebih lagi bila hal ini tidak berkontribusi langsung terhadap pemenuhan mendesak
mereka. Orang yang hidup dalam kemiskinan dan keputusasaan malah mereka tidak
akan berpikir panjang untuk merusak lingkungan jika mereka yakin bahwa dengan
melakukan hal tersebut maka kebutuhan mereka akan terpenuhi.
Permasalahan yang
Dihadapi di Kantor-Kantor Pusat.
Penanaman pohon bersama kelompok-kelompok
perempuan merupakan salah satu upaya untuk mengubah pola hidup masyarakat yang
kurang mampu. Akibatnya, staf pendukung yang bisa didapat baik di lapangan
maupun di kantorkantor pusat hanya berpendidikan tidak lebih dari sekolah
menengah. Meskipun kinerja mereka relatif baik, namun mereka kurang percaya
diri dalam menghadapi masaalah dalam organisasi seperti dalam mengemukakan
pengalaman dan komitmen. Atas sebab itulah, para profesional cenderung
menyepelekan mereka dan memandang mereka sebagai staf rendahan.
Pada dasarnya, pembangunan komunitas terus
menjadi suatu hal yang dianggap sulit. Oleh karena dalam suatu organisasi
mengharuskan seluruh anggotanya mendahulukan kepentingan untuk bekerja sama dan
secara konsisten memberikan segala hal yang dibutuhkan untuk menghilangkan
kendala-kendala yang menghambat perbaikan bagi kehidupan masyarakat.
2.4
Pencapaian Kegiatan yang di Lakukan Oleh Gerakan Sabuk Hijau.
Gerakan Sabuk Hijau memiliki banyak pendukung di
tingkat akar rumput. Sebagian besar pendukung dari organuisasi ini adalah
petani. Pada dasarnya Kenya merupakan negara dengan perekonomian pedesaan yang
mayoritas rakyatnya menggarap pertanian subsisten. Hal tersbut dapat
mempermudah melaksanakan aktivitas-aktivitas Sabuk Hijau karena mereka bekerja
mengolah tanah lebih sering daripada masyarakat ynag tinggal di wilayah
perkotaan. Oleh karena itu, banyak pencapaian Gerakan Sabuk Hijau terjadi di
daerah pedesaan melalui para petani. Sementara itu, di pusat-pusat kota,
insiatif Gerakan Sabuk Hijau lebih terfokus pada advokasi terutama melakukan
perlawanan terhadap privatisasi ruang publik dan hutan.
Adapun
manfaat lain dari organisasi ini yaitu:
1. Penghijauan
dan Reboisasi
2. Meluasnya
Wilayah Tutupan Pohon
3. Perubahan
Positif Bagi Kehidupan Ribuan Masyarakat di Pedesaan
4. Anggota
Kelompok Pembibitan Memperoleh Pendapatan Untuk Kegiatan Lanjutan yang Mereka
Lakukan
5. Penciptaan
Lapangan Pekerjaan di Internal Gerakan Sabuk Hijau
6. Meningkatkan
Kesadaran Tentang Pentingnya Melestarikan Lingkungan Hidup
7. Pemberdyaan
Individu dan Komunitas
8. Mobilisasi
Masyarakat
9. Meningkatkan
Kesadaran Tentang Perlunya Melindungi Keanekaragaman Hayati Tumbuhan dan
Tanaman Pangan
10. Membaiknya
Citra Perempuan [7]
3.
Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI)
3.1 Latar Belakang WALHI
WALHI merupakan forum
kelompok masyarakat sipil yang terdiri dari organisasi non-pemerintah/Non
Government (Ornop/NGO), Kelompok Pecinta Alam (KPA) dan Kelompok Swadaya
Masyarakat (KSM) yang didirikan pada tanggal 15 Oktober 1980 sebagai reaksi dan
keprihatinan atas ketidakadilan dalam pengelolaan sumberdaya alam dan
sumber-sumber kehidupan, sebagai akibat dari paradigma dan proses pembangunan
yang tidak memihak keberlanjutan dan keadilan.
Sejarah berdirinya
WALHI tak bisa dilepaskan dari salah seorang tokoh yang ada di Indonesia yaitu
Emil Salim. Setelah dua bulan diangkat sebagai Menteri Lingkungan Hidup pada
masa pemerintahan Soeharto, Emil Salim mengadakan pertemuan dengan beberapa
kawannya, yaitu Bedjo Rahardjo, Erna Witoelar, Ir. Rio Rahwartono (LIPI), dan
Tjokropranolo (Gubernur DKI), untuk membicarakan agar lingkungan menjadi sebuah
gerakan dalam masyarakat. Bukan hanya itu tujuannya, tetapi Emil Salim merasa
bahwa ia harus belajar tentang lingkungan, karena ia melihat bahwa lingkungan
ini adalah sesuatu yang baru dan belum populer di Indonesia. Ia ingin terjun ke
tengah-tengah masyarakat agar persoalan-persoalan lingkungan di masyarakat bisa
diketahui dan dicarikan solusi oleh masyarakat. Untuk itulah, ia harus mencari
jalan keluar agar bola salju yang bernama ‘lingkungan’ itu menggelinding lebih
besar.
Setelah
diadakan beberapa pertemuan-pertemuan, sidang perundingan, mencari kelompok
pendukung lingkungan ini, kemudian di beri organisasi ini di sahkan oleh ornop
dan diberi nama wahana lingkungan hidup Indonesia (WALHI), pemberian nama ini dikarenakan organisasi
tersebut akan bergerak pada bidang lingkungan hidup maka ornop sepakat
memberikan tambahan Lingkungan Hidup Indonesia pada akhir nama Wahana tersebut
sehingga jadilah nama organisasi tersebut “Wahana Lingkungan Hidup Indonesia”
dan disingkat menjadi “WALHI”. Nama
ini dianggap independen, tidak underbow kepada salah satu organisasi/parpol,
serta mencerminkan nama khas Indonesia atau bukan nama asing.
3.2 Visi, Misi dan Peran WALHI
a.
Visi
WALHI- berusaha mewujudkan suatu tatanan sosial,
ekonomi dan politik yang adil dan demokatis yang menjamin hak-hak rakyat atas
sumber-sumber kehidupan dan lingkungan hidup yang sehat.
b.
Misi dan Peran
WALHI-
mengemban misi sebagai wahana perjuangan
penegakan kedaulatan rakyat dan demokrasi untuk
pemenuhan keadilan, pemerataan sosial, pengawasan rakyat atas kebijakan
pengelolaan lingkungan hidup dan sumber-sumber kehidupan rakyat, serta
penyelenggaraan kepemerintahan yang adil dan demokratis.
WALHI-Sumut adalah jaringan pembela
lingkungan hidup yang pluralistik dan independen yang aktif melakukan studi
kebijakan, mensinergikan kekuatan antar organisasi non pemerintah dalam
advokasi lingkungan hidup dan sumber-sumber kehidupan rakyat (advokasi hutan,
tambang, air, pesisir dan laut, reformasi hukum dan pengelolaan sumber daya
alam, energi, pencemaran, pengelolaan bencana, dan globalisasi), meningkatkan
keterlibatan masyarakat dalam pengelolaan lingkungan hidup, melakukan
pengelolaan informasi, memfasilitasi dialog antara masyarakat dengan beebagai kelompok, menggalang dan memobilisasikan sumber daya publik serta mengembangkan
kemampuan sumber daya organisasi. [8]
4. 1 Latar Belakang KOPHI
Koalisi Pemuda Hijau Indonesia
atau KOPHI pada awalnya dibentuk oleh sekelompok pemuda dari Jakarta yang
memiliki kepedulian terhadap berbagai permasalahan lingkungan yang terjadi
dalam kehidupan sehari-hari (KOPHI, 2010). KOPHI resmi berdiri pada tanggal 28
Oktober 2010 dan diresmikan pada tanggal 30 Oktober 2010. KOPHI didirikan
dengan tujuan utama untuk menjadi wadah bagi anak muda yang ingin menjadi
bagian dari solusi masalah perubahan iklim sehingga mereka dapat bergerak untuk
melakukan sebuah tindakan secara kolektif dan berkelanjutan demi terciptanya
lingkungan yang lestari. Hingga tahun 2013, KOPHI sudah tersebar di 17 Provinsi
di Indonesia, dan salah satunya adalah di Daerah Istimewa Yogyakarta. KOPHI
Yogyakarta sendiri secara resmi berdiri pada 22 November 2011.
4.2 Kegiatan KOPHI
KOPHI
menjadi sarana edukasi sehari-hari bagi pelatihan pembuatan lubang biopori di
sekolah-sekolah, kegiatan pemberdayaan masyarakat desa yang dsebut sebagai
kegiatan Gerakan Aksi Sosial dan Lingkungan (Gelas KOPHI), kampanye Aksi Wisata
Bersih bersama komunitas, edukasi sanitasi air untuk
anak jalanan, pelatihan dan pembibitan jamur,
penghidupan kembali kegiatan taman kota di Bandung, serta
edukasi lingkungan bagi anak-anak. Semua kegiatan itu dikemas dalam sebuah
program bernama KOPHI Insomnia. KOPHI juga bekerja sama dengan berbagai LSM
swadaya pro-lingkungan lainnya, seperti bekerja sama dengan WWF Indonesia
dalam penyelenggaraan bengkel Earth Hour pada tahun
2011[9].
PENUTUP
I.
Kesimpulan
Berbagai permasalahan lingkungan
yang terjadi kemudian memicu munculnya gerakan-gerakan sosial di bidang
lingkungan hidup. Keberadaan garakan sosial dalam bidang lingkungan hidup
merupakan proses panjang yang senantiasa mengiringi perkembangan dan kondisi
ekologi bangsa ini. Menurut
Purnomo dkk (1989) dalam konteks sejarah gerakan lingkungan hidup di Indonesia
yang termanifestasi dalam bentuk NGO (Non Governmental Organization)
atau secara umum dikenal sebagai Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), sebenarnya
telah masuk dalam agenda gerakan semenjak 1970-an (dalam Suharko, 1998).
Gerakan lingkungan hidup di Indonesia memperoleh momentum penguatan pada
periode 1980-an, Eldridge (1995) menyebut periode ini sebagai ‘gelombang kedua’
(second wave) aktivitas NGO atau LSM di Indonesia. Pada periode ini,
tepatnya pada 15 Oktober 1980 muncul salah satu gerakan sosial di bidang
lingkungan bernama WALHI (Wahana Lingkungan Hidup).
Di Indonesia jumlah gerakan lingkungan dari masa
ke masa semakin bertambah banyak. Pada kurun waktu 1995, diperkirakan jumlah
NGO lingkungan yang ada di Indonesia mencapai angka antara 1.000-2.000
Gerakan lingkungan di Indonesia
dapat dikatakan sangat terpengaruh oleh gerakan lingkungan di negara-negara
barat. Mayoritas gerakan lingkungan di Indonesia serta para aktivis-aktivisnya
seringkali hanya menyoroti dan mempersoalkan dampak proyek-proyek yang bersifat
‘mercusuar’ atau proyek-proyek raksasa (Aditjondro, 2003). Seiring berkembangnya
waktu, kini mulai banyak bermunculan gerakan lingkungan baru yang tidak hanya
mengusung isu-isu makro saja, akan tetapi juga menjangkau berbagai isu dan
permasalahan di tingkat mikro. Salah satu contohnya adalah berdirinya sebuah
organisasi gerakan sosial di bidang lingkungan hidup yang bernama KOPHI
(Koalisi Pemuda Hijau Indonesia).
II.
Kritik dan saran
Demikian
makalah mengenai gerakan sosial budaya untuk
lingkungan yang dapat
kami buat dan kami sampaikan. Mudah-mudahan dapat bermanfaat bagi kita semua. Apabila
ada kesalahan dalam penulisan, ataupun ada refrensi yang kurang benar dalam
pembahasan, kami mohon maaf yang sebesar-besarnya. Dan kami menerima saran dan
kritikan dari pembaca demi kebaikan kami untuk selanjutnya. Tiada kesempurnaan
bagi kita, kecuali kesempurnaan itu hanya milik Allah semata.
DAFTAR PUSTAKA
_______Tri Marhaeni Pudji
Astuti. Ekofeminisme dan Peran Perempuan
dalam Lingkungan. Indonesian Journal of Conservation Vol. 1 No. 1 - Juni
2012 (diunduh
pada : Kamis, 1 Desember 2016)
_______Desi
Efrika Devita & Tri Joko Waluyo. Pengaruh Gerakan Sabuk Hijau (The Green Belt
Movement) Terhadap Kebijakan Pemerintah Kenya Dalam Menjaga Keasrian Lingkungan
Hidup Di Kenya . Jurnal Online Mahasiswa Bidang Ilmu Sosial dan Politik Vol 1 No 1. Universitas Riau.
_______ Horton B. Paul dan
Chester L. Hunt. Sosiologi. 1984.Jakarta: Gelora Aksara Pramata.
_______ Martono. Nanang. Sosiologi Perubahan Sosial. 2014.
Jakarta: Rajawali Pers.
_______ Sujatmiko. Jurnal
Ilmu Sosial dan politik,1-34 2014.(diunduh pada : Minggu, 10 Desember 2016)
_______ Faisal, Dodi and Ahmad , Aminudin
and Sugeng , Suharto (2012) PERAN WALHI BENGKULU DALAM
PENGENDALIAN PENCEMARAN SUNGAI AIR BENGKULU AKIBAT PENAMBANGAN BATU BARA. Undergraduated thesis, Fakultas Ilmu
Sosial dan Ilmu Politik UNIB. .(diunduh pada : Minggu, 10 Desember 2016)
_______ Andri Prasetiyo. 2014. VOLUNTERISME PADA KOALISI PEMUDA HIJAU INDONESIA REGIONAL
YOGYAKARTA. Undergraduated thesis, Fakultas Ilmu
Sosial dan Ilmu Politik UNY.(diunduh pada
: Minggu, 10 Desember 2016)
[4]Tri Marhaeni Pudji Astuti. Ekofeminisme dan Peran Perempuan dalam
Lingkungan. Indonesian Journal of Conservation Vol. 1 No. 1 - Juni
2012 (diunduh pada : Kamis, 1 Desember 2016)
[5] Tri Marhaeni Pudji Astuti. Ekofeminisme dan Peran Perempuan dalam
Lingkungan. Indonesian Journal of Conservation Vol. 1 No. 1 - Juni
2012 (diunduh pada : Kamis, 1 Desember 2016)
[6] Desi Efrika Devita & Tri Joko
Waluyo. Pengaruh Gerakan Sabuk Hijau (The Green Belt Movement) Terhadap
Kebijakan Pemerintah Kenya Dalam Menjaga Keasrian Lingkungan Hidup Di Kenya .
Jurnal Online Mahasiswa Bidang Ilmu Sosial dan Politik Vol 1 No 1. Universitas
Riau. (diunduh pada : Kamis, 1 Desember 2016)
[7] Desi Efrika Devita & Tri Joko Waluyo. Pengaruh Gerakan Sabuk
Hijau (The Green Belt Movement) Terhadap Kebijakan Pemerintah Kenya Dalam
Menjaga Keasrian Lingkungan Hidup Di Kenya . Jurnal Online Mahasiswa Bidang
Ilmu Sosial dan Politik Vol 1 No 1. Universitas Riau. (diunduh pada :
Kamis, 1 Desember 2016)
[8] Faisal,
Dodi and Ahmad ,
Aminudin and Sugeng , Suharto (2012) PERAN
WALHI BENGKULU DALAM PENGENDALIAN PENCEMARAN SUNGAI AIR BENGKULU AKIBAT
PENAMBANGAN BATU BARA. Undergraduated
thesis, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UNIB. .(diunduh pada : Minggu, 10 Desember 2016
[9] Andri Prasetiyo. 2014. VOLUNTERISME PADA KOALISI PEMUDA HIJAU INDONESIA
REGIONAL YOGYAKARTA. Undergraduated thesis, Fakultas Ilmu
Sosial dan Ilmu Politik UNY .(diunduh pada :
Minggu, 10 Desember 2016)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar