Selasa, 13 Desember 2016

Permasalahan Sosial dan Teori penyelesaian (Kasus Tindak Kriminal Pelecehan Seksual)



Permasalahan Sosial dan Teori penyelesaian
(Kasus Tindak Kriminal Pelecehan Seksual)
Makalah
Disusun Guna Untuk Memenuhi Tugas
Mata Kuliah  : Teori Sosial
Dosen Pengampu : Drs. Sugiarso M.Si

Disusun Oleh :

Siti Ani Munasaroh               (1501046002)



PENGEMBANGAN MASYARAKAT ISLAM
FAKULTAS DAKWAH DAN KOMUNIKASI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANG
2016


PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Teori merupakan bentuk tertinggi dari pengetahuan. Karena tidak semua para ahli para ahli pandai membuat dan menghasilkan teori- teori baru. Di sinilah mengapa orang yang berhasil membuat teori sangat dihargai, karena teori merupakan tujuan utama dari ilmu pengetahuan pada umumnya. 
Hal yang paling penting yang sama-sama dimiliki oleh para teoritikus adalah bahwa mereka tidak semata-mata melukiskann kehidupan sosial atau menceritakan sejarah perkembangan sosial demi kehidupan sosial, atau menceritakan sejarah perkembangan sosial itu sendriri. Mereka lebih berusaha membantu kita untuk melihat masyarakat manusia dengan cara tertentu sehingga apa yang kita peroleh dengan membaca karya- karya mereka tidak hanya lebih banyak informasi mengenai kehidupan sosial, melainkan sesuatu yang jauh lebih penting lagi, yaitu sebuah pemahaman yang lebih baik mengenai hakekat hubungan – hubungan sosial manusia.
Tujuan utama teori dibuat adalah sebagai jalan keluar dalam penyelesaian masalah sosial, teori yang yang sudah mengalami disfungsi akan digantikan oleh teori baru yang sesuai dengan kondisi dan permasalahan masyarakat. Dalam makalah ini penulis akan membahas tentang penyelesaian penyimpangan sosial mengenai kasus tindak kriminal pelecehan seksual.
B.     Rumusan Masalah
1.      Apa yang dimaksud dengan penyimpangan sosial?
2.      Apa faktor yang mempengaruhi penyimpangan sosial?
3.      Apa pengertian tindakan pelecehan seksual?
4.      Bagaimana jerat hukum dan pembuktian pelecehan seksual di Indonesia?
5.      Bagaimana penyelesaian tindak kriminal pelecehan seksual dalam pandangan teori sosial?




PEMBAHASAN

1.      Pengertian Penyimpangan Sosial
Penyimpangan sosial atau perilaku menyimpang, sadar atau tidak sadar pernah kita alami atau kita lakukan. Penyimpangan sosial dapat terjadi dimanapun dan dilakukan oleh siapapun. Sejauh mana penyimpangan itu terjadi, besar atau kecil, dalam skala luas atau sempit tentu akan berakibat terganggunya keseimbangan kehidupan dalam masyarakat. Suatu perilaku dianggap menyimpang apabila tidak sesuai dengan nilai-nilai dan norma-norma sosial yang berlaku dalam masyarakat atau dengan kata lain penyimpangan (deviation) adalah segala macam pola perilaku yang tidak berhasil menyesuaikan diri (conformity) terhadap kehendak masyarakat. Definisi-definisi penyimpangan sosial:
a.       James W. Van Der Zanden: Penyimpangan perilaku merupakan perilaku yang oleh sejumlah besar orang dianggap sebagai hal yang tercela dan diluar batas toleransi.
b.      Robert M. Z. Lawang: Perilaku menyimpang adalah semua tindakan yang menyimpang dari norma yang berlaku dalam sistem sosial dan menimbulkan usaha dari mereka yang berwenang dalam sistem itu untuk memperbaiki perilaku menyimpang.
c.       Lemert (1951): Penyimpangan dibagi menjadi dua bentuk: 1). Penyimpangan Primer (Primary Deviation) Penyimpangan yang dilakukan seseorang akan tetapi si pelaku masih dapat diterima masyarakat. Ciri penyimpangan ini bersifat temporer atau sementara, tidak dilakukan secara berulang-ulang dan masih dapat ditolerir oleh masyarakat. Contohnya: Menunggak iuran listrik dan telepon, melanggar rambu-rambu lalu lintas dan ngebut di jalanan.
Penyimpangan Sekunder (secondary deviation) Penyimpangan yang berupa perbuatan yang dilakukan seseorang yang secara umum dikenal sebagai perilaku menyimpang. Pelaku didominasi oleh tindakan menyimpang tersebut, karena merupakan tindakan pengulangan dari penyimpangan sebelumnya. Penyimpangan ini tidak bisa ditolerir oleh masyarakat. Contohnya: Pemabuk, pengguna obat-obatan terlarang, pemerkosa, pelacuran, pembunuh, perampok dan penjudi.


2. Faktor yang mempengaruhi penyimpangan Sosial
Menurut James W. Van Der Zanden Faktor-faktor penyimpangan sosial adalah sebagai berikut:
1). Longgar/tidaknya nilai dan norma. Ukuran perilaku menyimpang bukan pada ukuran baik buruk atau benar salah menurut pengertian umum, melainkan berdasarkan ukuran longgar tidaknya norma dan nilai sosial suatu masyarakat. Norma dan nilai sosial masyarakat yang satu berbeda dengan norma dan nilai sosial masyarakat yang lain. Misalnya: kumpul kebo di Indonesia dianggap penyimpangan, di masyarakat barat merupakan hal yang biasa dan wajar.
2). Sosialisasi yang tidak sempurna. Di masyarakat sering terjadi proses sosialisasi yang tidak sempurna, sehingga menimbulkan perilaku menyimpang. Contoh: di masyarakat seorang pemimpin idealnya bertindak sebagai panutan atau pedoman, menjadi teladan namun kadangkala terjadi pemimpin justru memberi contoh yang salah, seperti melakukan KKN. Karena masyarakat mentolerir tindakan tersebut maka terjadilah tindak perilaku menyimpang.
3). Sosialisasi sub kebudayaan yang menyimpang. Perilaku menyimpang terjadi pada masyarakat yang memiliki nilai-nilai sub kebudayaan yang menyimpang, yaitu suatu kebudayaan khusus yang normanya bertentangan dengan norma-norma budaya yang dominan/ pada umumnya. Contoh: Masyarakat yang tinggal di lingkungan kumuh, masalah etika dan estetika kurang diperhatikan, karena umumnya mereka sibuk dengan usaha memenuhi kebutuhan hidup yang pokok (makan), sering cekcok, mengeluarkan kata-kata kotor, buang sampah sembarangan dan sebagainya. Hal itu oleh masyarakat umum dianggap perilaku menyimpang. b. Menurut Casare Lombroso Perilaku menyimpang disebabkan oleh faktor-faktor:
 1). Biologis Misalnya orang yang lahir sebagai pencopet atau pembangkang. Ia membuat penjelasan mengenai “si penjahat yang sejak lahir”. Berdasarkan ciri-ciri tertentu orang bisa diidentifikasi menjadi penjahat atau tidak. Ciri- ciri fisik tersebut antara lain: bentuk muka, kedua alis yang menyambung menjadi satu dan sebagainya.
 2). Psikologis Menjelaskan sebab terjadinya penyimpangan ada kaitannya dengan kepribadian retak atau kepribadian yang memiliki kecenderungan untuk melakukan penyimpangan. Dapat juga karena pengalaman traumatis yang dialami seseorang.
3. Tindak Kriminal Pelecehan Seksual
Perkembangan ilmu pengetahuan sangat mempengaruhi pola pikir pakar hukum  untuk membedakan pengertian tindak pidana pelecehan seksual. Mengenai istilah “ tindak pidana “dari para sarjana hukum tidak ada keseragaman pendapat, tetapi semuanya merupakan terjemahan dari istilah belanda“starbaar feit “. Menurut Moeljatno  “tindak pidana”   merupakan perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum larangan yang disertai ancaman hukuman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barang siapa yang melanggar larangan tersebut.
R. Tresna juga  mengatakan bahwa “ tindak pidana” adalah perbuatan atau serangkaian perbuatan manusia yang bertentangan dengan undang-undang atau peraturan perundang-undangan lainnya terhadap perbuatan mana diadakan tindakan penghukuman. Dan dalam tindak pidana tersebut terdapat syarat-syarat yang telah ditentukan seperti: harus adanya suatu perbuatan manusia, perbuatan itu haruslah sesuai dengan apa yang dilukiskan di dalam ketentuan hukum, dan atas perbuatan itu harus terbukti adanya kesalahan pada orang yang berbuat dan dapat dipertanggungjawabkan, perbuatan yang dimaksudkan harus berlawanan dengan hukum serta atas perbuatan itu harus tersedia ancaman hukumannya dalam undang-undang.
Adapun perkataan pelecehan seksual dalam Kitab Undang - Undang Hukum Pidana (KUHP) tidak ada penjelasan khusus mengenai pengertian pelecehan seksual. Akan tetapi secara tidak langsung di dalam pasal-pasal tersebut telah termaktub tentang perbuatan yang digolongkan kepada pelecehan seksual. Khususnya pelecehan seksual terhadap anak di bawah umur, seperti halnya perbuatan  persetubuhan (pasal 287 KUHP), sodomi atau homoseksual (pasal 292 KUHP). Walaupun di dalam Kitab Undang - Undang Hukum Pidana (KUHP) tidak ada penjelasan khusus tentang pelecehan seksual, tetapi di dalam Kamus  Besar Bahasa Indonesia terdapat pengertian yang cukup jelas tentang pelecehan seksual.
Untuk mengetahui lebih jelas makna dari pelecehan seksual terlebih dahulu
kita perlu melihat masing- masing kata yang ada di dalamnya yaitu: “pelecehan”  dan “seksual”.Pelecehan (harrasment) merupakan pembendaan dari kata kerja “melecehkan” yang berarti: menghina, memandang rendah, atau tindakan menurunkan martabat. Sedangkan seksual(sexual) memiliki arti: hal-hal yang berkenaan dengan seks atau jenis kelamin, hal yang berkenaan dengan perkara persetubuhan antara pria dan wanita.
Maka dapat disimpulkan bahwa pelecehan seksual (sexual harrasment) itu adalah : suatu bentuk perbuatan penghinaan atau memandang rendah seseorang karena hal - hal yang berkenaan dengan seks (jenis kelamin) atau aktivitas seksual antara laki- laki dan perempuan.  Atau dengan kata lain pelecehan seksual (sexual harrasment) itu merupakan suatu perilaku atau tindakan yang mengganggu, menjengkelkan dan tidak diundang yang dilakukan seseorang atau sekelompok orang terhadap pihak lain yang berkaitan dengan jenis kelamin pihak yang diganggunya. Perilaku itu dapat berupa fisik dan mental serta mengganggu aspek fisik, mental, emosional dan spritual korban.          
Adapun bentuk-bentuk  pelecehan seksual itu, dapat dikategorikan ke dalam dua kategori yaitu:
1.      Bentuk pelecehan seksual yang tergolong ringan, yang bagi pelaku tidak dikenai sanksi(seductive behavior) ataupun perbuatan tersebut dianggap sebagai perbuatan yang tidak menyenangkan. Perbuatan - perbuatan tersebut dapat berupa:
2.      Tingkah laku dan komentar yang berkenaan dengan peran jenis kelamin.
3.      Tekanan langsung atau halus untuk tindakan seksual seperti: berciuman, berpegangan tangan, menepuk bagian tertentu.
4.      Sentuhan atau kedekatan fisik yang tidak diundang seperti: mendorong alat kelamin (penis atau dada) pada korbannya.
5.      Perhatian seksual yang tidak diundang dan tidak disukai serta tidak pada tempatnya. 
Bentuk  pelecehan  seksual  yang  tergolong  berat  dan bagi si pelaku dikenakan sanksi atau ancaman hukuman (sexual coercion). Perbuatan itu berupa pemaksaan untuk melakukan hubungan seksual dan kejahatan seksual atau pelanggaran hukum yang dilakukan secara terang-terangan (sexsual assault).

4.         Hukuman Dan Pembuktian Pidana Pelecehan Seksual Di Indonesia
Dalam artikel berjudul “Kekerasan Seksual: Mitos dan Realitas” menyatakan antara lain di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”) tidak dikenal istilah pelecehan seksual. KUHP, menurutnya, hanya mengenal istilah perbuatan cabul, yakni diatur dalam Pasal 289 sampai dengan Pasal 296 KUHP. Mengutip buku “KUHP Serta Komentar-komentarnya” karya R. Soesilo, Ratna menyatakan bahwa istilah perbuatan cabul dijelaskan sebagai perbuatan yang melanggar rasa kesusilaan, atau perbuatan lain yang keji, dan semuanya dalam lingkungan nafsu berahi kelamin. Misalnya cium-ciuman, meraba-raba anggota kemaluan, meraba-raba buah dada dan sebagainya.
Dalam pengertian itu berarti, segala perbuatan apabila itu telah dianggap melanggar kesopanan/kesusilaan, dapat dimasukkan sebagai perbuatan cabul. Sementara itu, istilah pelecehan seksual mengacu pada sexual harrasment yang diartikan sebagai unwelcome attention (Martin Eskenazi and David gallen, 1992) atau secara hukum didefinisikan sebagai "imposition of unwelcome sexual demands or creation of sexually offensive environments".

Dengan demikian, unsur penting dari pelecehan seksual adalah adanya ketidakinginan atau penolakan pada apapun bentuk-bentuk perhatian yang bersifat seksual. Sehingga bisa jadi perbuatan seperti siulan, kata-kata, komentar yang menurut budaya atau sopan santun (rasa susila) setempat adalah wajar. Namun, bila itu tidak dikehendaki oleh si penerima perbuatan tersebut maka perbuatan itu bisa dikategorikan sebagai pelecehan seksual.Jadi, pelecehan seksual dapat dijerat dengan pasal percabulan (Pasal 289 s.d. Pasal 296 KUHP). Dalam hal terdapat bukti-bukti yang dirasa cukup, Jaksa Penuntut Umum yang akan mengajukan dakwaannya terhadap pelaku pelecehan seksual di hadapan pengadilan.
Pembuktian dalam hukum pidana adalah berdasarkan Pasal 184 UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (“KUHAP”), menggunakan lima macam alat bukti, yaitu:
1.                        keterangan saksi
2.                        keterangan ahli
3.                        surat
4.                        petunjuk
5.                        keterangan terdakwa.
 Sehingga, dalam hal terjadi pelecehan seksual, bukti-bukti tersebut di atas dapat digunakan sebagai alat bukti. Untuk kasus terkait percabulan atau perkosaan, biasanya menggunakan salah satu alat buktinya berupa Visum et repertum. Menurut “Kamus Hukum” oleh JCT Simorangkir, Rudy T Erwin dan JT Prasetyo, visum et repertum adalah surat keterangan/laporan dari seorang ahli mengenai hasil pemeriksaannya terhadap sesuatu, misalnya terhadap mayat dan lain-lain dan ini dipergunakan untuk pembuktian di pengadilan. 
Meninjau pada definisi di atas, maka visum et repertum dapat digunakan sebagai alat bukti surat, sebagaimana diatur dalam Pasal 187 huruf c KUHAP: “Surat keterangan dari seorang ahli yang memuat pendapat berdasarkan keahliannya mengenai sesuatu hal atau sesuatu keadaan yang diminta secara resmi daripadanya.” Penggunaan Visum et repertum sebagai alat bukti, diatur juga dalam Pasal 133 ayat (1) KUHAP:“Dalam hal penyidik untuk kepentingan peradilan menangani seorang korban baik luka, keracunan ataupun mati yang diduga karena perstiwa yang merupakan tindak pidana, ia berwenang mengajukan permintaan keterangan ahli kepada ahli kedokteran kehakiman atau dokter dan atau ahli lainnya.”Apabila visum memang tidak menunjukkan adanya tanda kekerasan, maka sebaiknya dicari alat bukti lain yang bisa membuktikan tindak pidana tersebut. Pada akhirnya, Hakim yang akan memutus apakah terdakwa bersalah atau tidak berdasarkan pembuktian di pengadilan.
5.  Penyelesaian Kasus Tindakan Kriminal Pelecehan Seksual Berdasarkan Pandangan Teori Sosial
Dalam penyelesaian kasus tindakan kriminalitas berdasarkan penggunaan teori sosial ,penulis menggunakan teori sebab akibat (kausalitas) dan teori fenomenologi dari Edmud Husrrel.
1.      Teori Kausalitas
Setiap perbuatan menimbulkan akibat, baik akibat secara langsung maupun tidak langsung. Namun, tidak semua akibat menimbulkan hukum tertentu atau dengan kata lain tidak semua perbuatan menimbulkan akibat hukum. Akibat hukum bisa ditimbulkan oleh satu perbuatan atau satu delik dan bisa juga ditimbulkan oleh beberapa perbuatan atau serangkaian perbuatan yang saling berhubungan dan saling mendukung untuk terjadinya suatu akibat. Misal:
L hamil diluar nikah dengan N, karena N tidak mau bertanggung jawab, maka L memutuskan untuk menggugurkan kandungannya kepada S yakni seorang bidan didaerahnya. Karena pendarahan hebat usai menggugurkan kandungannya, L dibawa kerumah sakit. Sesampai dirumah sakit, dokter yang seharusnya menolong L sedang mengisi sebuah seminar diluar lingkungan rumah sakit tersebut, sehingga L kehabisan darah dan mati. Akibat hukum yang ditimbulkan oleh serangkaian perbuatan seperti contoh tersebut, menuntut adanya sebab terdekat yang bisa dimintai pertanggung jawabannya. Dalam hukum pidana, tentang hal tersebut memiliki suatu teori yang disebut teori sebab-akibat. Suatu akibat yang dilarang dalam KUHP harus ditentukan sebabnya dan dimintai pertanggung jawabannya, oleh karena itu antara sebab dan akibat yang ditimbulkan haruslah memiliki hubungan kausal yang jelas, sehingga bisa dibuktikan bahwa akibat hukum yang terjadi benar-benar disebabkan oleh perbuatan pelaku yang dimintai pertanggung jawabannya
Penentuan sebab suatu akibat dalam hukum pidana adalah merupakan suatu hal yang sulit dipecahkan. Didalam kitab Undang- Undang Hukum Pidana (KUHP), pada dasarnya tidak tercantum petunjuk tentang cara untuk menentukan sebab suatu akibat yang dapat menciptakan suatu delik. KUHP hanya menentukan dalam beberapa pasalnya, bahwa untuk delik-delik tertentu diperlukan adanya suatu akibat tertentu untuk menjatuhkan pidana terhadap pembuat, seperti misalnya pasal 338 KUHP tentang kejahatan terhadap nyawa. Bahwa pembunuhan hanya dapat menyebabkan pelakunya dipidana apabila seseorang meninggal dunia oleh pembuat menurut pasal 338 KUHP tersebut.
Teori kausalitas atau ajaran sebab akibat, tidak hanya mengajarkan tentang kausalitas pada delik komisi, tapi juga mengajarkan kausalitas pada delik omisi.
Kausalitas disebut juga hubungan sebab akibat, dimana setiap akibat yang muncul harus ditentukan sebab dari akibat tersebut, yakni sebab yang memiliki hubungan kausal dengan akibat. Sehingga, bisa dimintai pertanggung jawabannya pada si pelaku.  Menurut Andi Hamzah dalam bukunya “Asas-asas hukum pidana”, setiap kejadian alam maupun kejadian social tidaklah terlepas dari rangkaian sebab akibat, peristiwa alam maupun social yang terjadi adalah rangkaian akibat dari peristiwa lain maupun social yang telah terjadi sebelumnya. Setiap peristiwa social menimbulkan satu atau beberapa peristiwa social yang lain, demikian seterusnya, yang satu mempengaruhi yang lain, sehingga merupakan rangkaian sebab akibat. Jadi, hubungan kausal yang ada, yang saling terkait dan saling mempengaruhi itulah yang yang disebut dengan kausalitas atau hubungan sebab akibat. Untuk menentukan adanya suatu perbuatan pidana yang bisa dimintai pertanggung jawabannya, diperlukan ajaran sebab akibat. Dimana ajaran sebab akibat sangat berperan dalam hal menentukan unsur perbuatan yang menimbulkan akibat. Sehingga, dapat ditentukan hubungan antara akibat tertentu dengan perbuatan orang yang menimbulkan akibat. Dengan demikian, bahwa orang tersebut telah melakukan tindak pidana dan dituntut untuk dipertanggung jawabkan kepadanya.


 Jadi, tujuan ajaran sebab akibat (causaliteitsleer) adalah :
a.       Untuk menentukan hubungan antara sebab – akibat, yang berarti menentukan adanya atau tidak adanya tindak pidana.
b.      Untuk menentukan pertanggung jawaban seseorangatas suatu akibat tertentu yang berupa suatu tindak pidana.
Menghindari pelecehan seksual ditempat umum memang tidak mudah, tapi bisa diminimalisir dengan penggunaan pakaian yang "sopan" atau tidak memancing gairah atau bisa juga bepergian selalu ditemani oleh muhrimnya. Meskipun itu belum menjamin terhindar dari tindakan tersebut. Tapi paling tidak itu merupakan jalan terbaik yang bisa dilakukan, karena belum ada "polisi khusus pencegah pelecehan seks di tempat umum". Atau pemerintah seharusnya lebih mengetatkan peraturan di tempat umum, misal bis kota yang harus mengangkut penumpang sesuai kapasitas kursi yang tersedia hingga tidak terjadi kepadatan yang sangat berpotensi terjadi pelecehan seksual.
2.      Teori Fenomenologi
Beberapa sumber menyebutkan, Istilah fenomenologi berasal dari bahasa Yunani: Phainestai yang artinya “menunjukkan” dan “menampakkan diri sendiri”. Sebagai aliran epistemologi
Dalam bahasa indonesia biasa dipakai istilah gejala. Secara istilah, fenomenologi adalah ilmu pengetahuan (logos) tentang apa yang tampak. Dari pengertian tersebut dapat dipahami bahwa fenomenologi adalah suatu aliran yang membicarakan fenomena atau segala sesuatu yang tampak atau yang menampakkan diri
Seorang Fenomenolog suka melihat gejala. Dia berbeda dengan seorang ahli ilmu positif yang mengumpulkan data, mencari korelasi dan fungsi, serta membuat hukum-hukum dan teori. Fenomenolog bergerak di bidang yang pasti. Hal yang menampakkan dirinya dilukiskan tanpa meninggalkan bidang evidensi yang langsung. Fenomenologi adalah suatu metode pemikiran, “a way of looking at things”.
Dari keterangan di atas dapat dipahami bahwa fenomenologi ini mengacu kepada analisis kehidupan sehari-hari dari sudut pandang orang yang terlibat di dalamnya. Tradisi ini memberi penekanan yang besar pada persepsi dan interpretasi orang mengenai pengalaman mereka sendiri. Fenomenologi melihat komunikasi sebagai sebuah proses membagi pengalaman personal melalui dialog atau percakapan. Bagi seorang fenomenolog, kisah seorang individu adalah lebih penting dan bermakna daripada hipotesis ataupun aksioma. Seorang penganut fenomenologi cenderung menentang segala sesuatu yang tidak dapat diamati. Fenomenologi juga cenderung menentang naturalisme (biasa juga disebut objektivisme atau positivisme). Hal demikian dikarenakan Fenomenolog cenderung yakin bahwa suatu bukti atau fakta dapat diperoleh tidak hanya dari dunia kultur dan natural, tetapi juga ideal, semisal angka, atau bahkan kesadaran hidup.
Jelasnya, fenomenologi mencoba menepis semua asumsi yang mengkontaminasi pengalaman konkret manusia. Ini mengapa fenomenologi disebut sebagai cara berfilsafat yang radikal. Fenomenologi menekankan upaya menggapai “hal itu sendiri” lepas dari segala presuposisi. Langkah pertamanya adalah menghindari semua konstruksi, asumsi yang dipasang sebelum dan sekaligus mengarahkan pengalaman. Tak peduli apakah konstruksi filsafat, sains, agama, dan kebudayaan, semuanya harus dihindari sebisa mungkin. Semua penjelasan tidak boleh dipaksakan sebelum pengalaman menjelaskannya sendiri dari dan dalam pengalaman itu sendiri. Fenomenologi menekankan perlunya filsafat melepaskan diri dari ikatan historis apapun—apakah itu tradisi metafisika, epistimologi, atau sains. Program utama fenomenologi adalah mengembalikan filsafat ke penghayatan sehari-hari subjek pengetahuan. Kembali ke kekayaan pengalaman manusia yang konkret, lekat, dan penuh penghayatan. Selain itu, fenomenologi juga menolak klaim representasionalisme epistimologi modern. Dengan demikian, fenomenologi yang dipromosikan Husserl ini dapat disebut sebagai ilmu tanpa presuposisi. Hal ini jelas bertolak belakang dengan modus filsafat sejak Hegel menafikan kemungkinannya ilmu pengetahuan tanpa presuposisi, dimana presuposisi yang menghantui filsafat selama ini adalah naturalisme dan psikologisme.
Dari sisi fenomenologi dapat dilihat dari beberapa sudut pandang tentang perilaku tindakan pelecehan seksual, jika dari tersangka bisa saja seseorang tersebut memendam dendam yang mendalam kepada korban sehingga melampiaskan dendamnya dengan car amelecehkan korban, bisa juga tersangka terpancing oleh sikap yang ditimbulkan oleh korban, misal korban berpakaian yang mengundang syahwat, korban suka menghina, dan lain sebagainya.


PENUTUP
I.                   Kesimpulan
Tindakan kriminalitas pelecehan seksual secara hukum dan teori sudah di tetapkan dalam  didalam Kitab undang-undang Hukum pidana (KUHP). Pelecehan seksual dapat dilihat melalui teori kausalitas atau sebab akibat, dimana suatu kejadian tidak akan terjadi jika tidak ada yang memulai, semua yang terjadi   karena ada sebab yang mendasari kenapa hal tersebut dapat terjadi,  semisal pelecehan seksual yang dilihat dari segi kausalitas, pelecehan tidak akan terjadi jika korban tidak memancing syahwat dari pelaku pelecehan, korban tidak memacing amarah tersangka.
Memang menghindari pelecehan seksual ditempat umum memang tidak mudah, tapi bisa diminimalisir dengan penggunaan pakaian yang "sopan" atau tidak memancing gairah atau bisa juga bepergian selalu ditemani oleh muhrimnya. Meskipun itu belum menjamin terhindar dari tindakan tersebut. Tapi paling tidak itu merupakan jalan terbaik yang bisa dilakukan, karena belum ada "polisi khusus pencegah pelecehan seks di tempat umum". Atau pemerintah seharusnya lebih mengetatkan peraturan di tempat umum, misal bis kota yang harus mengangkut penumpang sesuai kapasitas kursi yang tersedia hingga tidak terjadi kepadatan yang sangat berpotensi terjadi pelecehan seksual.


                                                                                                   


Tidak ada komentar:

Posting Komentar