Permasalahan
Sosial dan Teori penyelesaian
(Kasus
Tindak Kriminal Pelecehan Seksual)
Makalah
Disusun
Guna Untuk Memenuhi Tugas
Mata
Kuliah : Teori Sosial
Dosen
Pengampu : Drs. Sugiarso M.Si
Disusun
Oleh :
Siti
Ani Munasaroh (1501046002)
PENGEMBANGAN
MASYARAKAT ISLAM
FAKULTAS
DAKWAH DAN KOMUNIKASI
UNIVERSITAS
ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANG
2016
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Teori merupakan bentuk
tertinggi dari pengetahuan. Karena tidak semua para ahli para ahli pandai
membuat dan menghasilkan teori- teori baru. Di sinilah mengapa orang yang
berhasil membuat teori sangat dihargai, karena teori merupakan tujuan utama
dari ilmu pengetahuan pada umumnya.
Hal yang paling penting
yang sama-sama dimiliki oleh para teoritikus adalah bahwa mereka tidak semata-mata
melukiskann kehidupan sosial atau menceritakan sejarah perkembangan sosial demi
kehidupan sosial, atau menceritakan sejarah perkembangan sosial itu sendriri.
Mereka lebih berusaha membantu kita untuk melihat masyarakat manusia dengan
cara tertentu sehingga apa yang kita peroleh dengan membaca karya- karya mereka
tidak hanya lebih banyak informasi mengenai kehidupan sosial, melainkan sesuatu
yang jauh lebih penting lagi, yaitu sebuah pemahaman yang lebih baik mengenai
hakekat hubungan – hubungan sosial manusia.
Tujuan utama teori
dibuat adalah sebagai jalan keluar dalam penyelesaian masalah sosial, teori
yang yang sudah mengalami disfungsi akan digantikan oleh teori baru yang sesuai
dengan kondisi dan permasalahan masyarakat. Dalam makalah ini penulis akan
membahas tentang penyelesaian penyimpangan sosial mengenai
kasus tindak kriminal pelecehan seksual.
B.
Rumusan Masalah
1.
Apa yang
dimaksud dengan penyimpangan sosial?
2.
Apa faktor yang
mempengaruhi penyimpangan sosial?
3.
Apa pengertian tindakan
pelecehan seksual?
4.
Bagaimana jerat hukum dan pembuktian pelecehan
seksual di Indonesia?
5.
Bagaimana
penyelesaian tindak kriminal pelecehan seksual dalam pandangan teori sosial?
PEMBAHASAN
1.
Pengertian
Penyimpangan Sosial
Penyimpangan sosial atau perilaku menyimpang, sadar atau tidak
sadar pernah kita alami atau kita lakukan. Penyimpangan sosial dapat terjadi
dimanapun dan dilakukan oleh siapapun. Sejauh mana penyimpangan itu terjadi,
besar atau kecil, dalam skala luas atau sempit tentu akan berakibat
terganggunya keseimbangan kehidupan dalam masyarakat. Suatu perilaku dianggap
menyimpang apabila tidak sesuai dengan nilai-nilai dan norma-norma sosial yang
berlaku dalam masyarakat atau dengan kata lain penyimpangan (deviation) adalah
segala macam pola perilaku yang tidak berhasil menyesuaikan diri (conformity)
terhadap kehendak masyarakat. Definisi-definisi penyimpangan sosial:
a.
James W. Van Der Zanden: Penyimpangan perilaku merupakan perilaku
yang oleh sejumlah besar orang dianggap sebagai hal yang tercela dan diluar
batas toleransi.
b.
Robert M. Z. Lawang: Perilaku menyimpang adalah semua tindakan yang
menyimpang dari norma yang berlaku dalam sistem sosial dan menimbulkan usaha
dari mereka yang berwenang dalam sistem itu untuk memperbaiki perilaku menyimpang.
c.
Lemert (1951): Penyimpangan dibagi menjadi dua bentuk: 1).
Penyimpangan Primer (Primary Deviation) Penyimpangan yang dilakukan seseorang
akan tetapi si pelaku masih dapat diterima masyarakat. Ciri penyimpangan ini
bersifat temporer atau sementara, tidak dilakukan secara berulang-ulang dan
masih dapat ditolerir oleh masyarakat. Contohnya: Menunggak iuran listrik dan
telepon, melanggar rambu-rambu lalu lintas dan ngebut di jalanan.
Penyimpangan
Sekunder (secondary deviation) Penyimpangan yang berupa perbuatan yang
dilakukan seseorang yang secara umum dikenal sebagai perilaku menyimpang.
Pelaku didominasi oleh tindakan menyimpang tersebut, karena merupakan tindakan
pengulangan dari penyimpangan sebelumnya. Penyimpangan ini tidak bisa ditolerir
oleh masyarakat. Contohnya: Pemabuk, pengguna obat-obatan terlarang, pemerkosa,
pelacuran, pembunuh, perampok dan penjudi.
2. Faktor yang mempengaruhi penyimpangan Sosial
Menurut James W. Van Der Zanden Faktor-faktor penyimpangan sosial
adalah sebagai berikut:
1). Longgar/tidaknya nilai dan norma. Ukuran perilaku menyimpang
bukan pada ukuran baik buruk atau benar salah menurut pengertian umum,
melainkan berdasarkan ukuran longgar tidaknya norma dan nilai sosial suatu
masyarakat. Norma dan nilai sosial masyarakat yang satu berbeda dengan norma
dan nilai sosial masyarakat yang lain. Misalnya: kumpul kebo di Indonesia
dianggap penyimpangan, di masyarakat barat merupakan hal yang biasa dan wajar.
2). Sosialisasi yang tidak sempurna. Di masyarakat sering terjadi
proses sosialisasi yang tidak sempurna, sehingga menimbulkan perilaku
menyimpang. Contoh: di masyarakat seorang pemimpin idealnya bertindak sebagai
panutan atau pedoman, menjadi teladan namun kadangkala terjadi pemimpin justru
memberi contoh yang salah, seperti melakukan KKN. Karena masyarakat mentolerir
tindakan tersebut maka terjadilah tindak perilaku menyimpang.
3). Sosialisasi sub kebudayaan yang menyimpang. Perilaku menyimpang
terjadi pada masyarakat yang memiliki nilai-nilai sub kebudayaan yang
menyimpang, yaitu suatu kebudayaan khusus yang normanya bertentangan dengan
norma-norma budaya yang dominan/ pada umumnya. Contoh: Masyarakat yang tinggal
di lingkungan kumuh, masalah etika dan estetika kurang diperhatikan, karena
umumnya mereka sibuk dengan usaha memenuhi kebutuhan hidup yang pokok (makan),
sering cekcok, mengeluarkan kata-kata kotor, buang sampah sembarangan dan
sebagainya. Hal itu oleh masyarakat umum dianggap perilaku menyimpang. b.
Menurut Casare Lombroso Perilaku menyimpang disebabkan oleh faktor-faktor:
1). Biologis Misalnya orang
yang lahir sebagai pencopet atau pembangkang. Ia membuat penjelasan mengenai
“si penjahat yang sejak lahir”. Berdasarkan ciri-ciri tertentu orang bisa
diidentifikasi menjadi penjahat atau tidak. Ciri- ciri fisik tersebut antara
lain: bentuk muka, kedua alis yang menyambung menjadi satu dan sebagainya.
2). Psikologis Menjelaskan
sebab terjadinya penyimpangan ada kaitannya dengan kepribadian retak atau
kepribadian yang memiliki kecenderungan untuk melakukan penyimpangan. Dapat
juga karena pengalaman traumatis yang dialami seseorang.
3. Tindak Kriminal Pelecehan Seksual
Perkembangan ilmu pengetahuan sangat mempengaruhi pola pikir pakar
hukum untuk membedakan pengertian tindak pidana pelecehan seksual.
Mengenai istilah “ tindak pidana “dari para sarjana hukum tidak ada keseragaman
pendapat, tetapi semuanya merupakan terjemahan dari istilah belanda“starbaar
feit “. Menurut Moeljatno “tindak pidana” merupakan
perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum larangan yang disertai ancaman
hukuman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barang siapa yang melanggar
larangan tersebut.
R. Tresna juga mengatakan bahwa “ tindak pidana” adalah perbuatan
atau serangkaian perbuatan manusia yang bertentangan dengan undang-undang atau
peraturan perundang-undangan lainnya terhadap perbuatan mana diadakan tindakan
penghukuman. Dan dalam tindak pidana tersebut terdapat syarat-syarat yang telah
ditentukan seperti: harus adanya suatu perbuatan manusia, perbuatan itu
haruslah sesuai dengan apa yang dilukiskan di dalam ketentuan hukum, dan atas
perbuatan itu harus terbukti adanya kesalahan pada orang yang berbuat dan dapat
dipertanggungjawabkan, perbuatan yang dimaksudkan harus berlawanan dengan hukum
serta atas perbuatan itu harus tersedia ancaman hukumannya dalam undang-undang.
Adapun perkataan pelecehan seksual dalam Kitab Undang - Undang Hukum Pidana
(KUHP) tidak ada penjelasan khusus mengenai pengertian pelecehan seksual. Akan
tetapi secara tidak langsung di dalam pasal-pasal tersebut telah termaktub
tentang perbuatan yang digolongkan kepada pelecehan seksual. Khususnya
pelecehan seksual terhadap anak di bawah umur, seperti halnya perbuatan
persetubuhan (pasal 287 KUHP), sodomi atau homoseksual (pasal 292 KUHP). Walaupun
di dalam Kitab Undang - Undang Hukum Pidana (KUHP) tidak ada penjelasan khusus
tentang pelecehan seksual, tetapi di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia
terdapat pengertian yang cukup jelas tentang pelecehan seksual.
Untuk mengetahui lebih jelas makna dari
pelecehan seksual terlebih dahulu
kita perlu melihat masing- masing kata yang
ada di dalamnya yaitu: “pelecehan” dan “seksual”.Pelecehan (harrasment) merupakan
pembendaan dari kata kerja “melecehkan” yang berarti: menghina, memandang
rendah, atau tindakan menurunkan martabat. Sedangkan seksual(sexual) memiliki
arti: hal-hal yang berkenaan dengan seks atau jenis kelamin, hal yang berkenaan
dengan perkara persetubuhan antara pria dan wanita.
Maka dapat disimpulkan bahwa pelecehan seksual (sexual harrasment) itu
adalah : suatu bentuk perbuatan penghinaan atau memandang rendah seseorang
karena hal - hal yang berkenaan dengan seks (jenis kelamin) atau aktivitas
seksual antara laki- laki dan perempuan. Atau dengan
kata lain pelecehan seksual (sexual harrasment) itu
merupakan suatu perilaku atau tindakan yang mengganggu, menjengkelkan dan tidak
diundang yang dilakukan seseorang atau sekelompok orang terhadap pihak lain
yang berkaitan dengan jenis kelamin pihak yang diganggunya. Perilaku itu dapat
berupa fisik dan mental serta mengganggu aspek fisik, mental, emosional dan
spritual korban.
Adapun bentuk-bentuk pelecehan
seksual itu, dapat dikategorikan ke dalam dua kategori yaitu:
1. Bentuk pelecehan seksual yang tergolong
ringan, yang bagi pelaku tidak dikenai sanksi(seductive behavior) ataupun
perbuatan tersebut dianggap sebagai perbuatan yang tidak menyenangkan.
Perbuatan - perbuatan tersebut dapat berupa:
2. Tingkah laku dan komentar yang berkenaan
dengan peran jenis kelamin.
3. Tekanan langsung atau halus untuk tindakan
seksual seperti: berciuman, berpegangan tangan, menepuk bagian tertentu.
4. Sentuhan atau kedekatan fisik yang tidak
diundang seperti: mendorong alat kelamin (penis atau dada) pada korbannya.
5. Perhatian seksual yang tidak diundang dan
tidak disukai serta tidak pada tempatnya.
Bentuk pelecehan seksual yang tergolong berat
dan bagi si pelaku dikenakan sanksi atau ancaman hukuman (sexual
coercion). Perbuatan itu berupa pemaksaan untuk melakukan hubungan
seksual dan kejahatan seksual atau pelanggaran hukum yang dilakukan secara
terang-terangan (sexsual assault).
4. Hukuman Dan Pembuktian Pidana Pelecehan
Seksual Di Indonesia
Dalam
artikel berjudul “Kekerasan
Seksual: Mitos dan Realitas” menyatakan antara lain di dalam Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana (“KUHP”) tidak dikenal istilah
pelecehan seksual. KUHP, menurutnya, hanya mengenal istilah perbuatan cabul,
yakni diatur dalam Pasal 289 sampai dengan Pasal 296 KUHP. Mengutip buku “KUHP
Serta Komentar-komentarnya” karya R. Soesilo, Ratna menyatakan bahwa istilah
perbuatan cabul dijelaskan sebagai perbuatan yang melanggar rasa kesusilaan,
atau perbuatan lain yang keji, dan semuanya dalam lingkungan nafsu berahi
kelamin. Misalnya cium-ciuman, meraba-raba anggota kemaluan, meraba-raba buah
dada dan sebagainya.
Dalam
pengertian itu berarti, segala perbuatan apabila itu telah dianggap melanggar
kesopanan/kesusilaan, dapat dimasukkan sebagai perbuatan cabul. Sementara itu,
istilah pelecehan seksual mengacu pada sexual harrasment yang diartikan sebagai
unwelcome attention (Martin Eskenazi and David gallen, 1992) atau secara hukum
didefinisikan sebagai "imposition of
unwelcome sexual demands or creation of sexually offensive environments".
Dengan demikian, unsur penting dari
pelecehan seksual adalah adanya ketidakinginan atau penolakan pada apapun
bentuk-bentuk perhatian yang bersifat seksual. Sehingga bisa jadi perbuatan
seperti siulan, kata-kata, komentar yang menurut budaya atau sopan santun (rasa
susila) setempat adalah wajar. Namun, bila itu tidak dikehendaki oleh si
penerima perbuatan tersebut maka perbuatan itu bisa dikategorikan sebagai
pelecehan seksual.Jadi, pelecehan seksual dapat dijerat dengan pasal percabulan
(Pasal 289 s.d. Pasal 296 KUHP). Dalam hal terdapat bukti-bukti yang dirasa
cukup, Jaksa Penuntut Umum yang akan mengajukan dakwaannya terhadap pelaku
pelecehan seksual di hadapan pengadilan.
Pembuktian dalam hukum pidana adalah
berdasarkan Pasal 184 UU No. 8
Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (“KUHAP”), menggunakan lima
macam alat bukti, yaitu:
1.
keterangan saksi
2.
keterangan ahli
3.
surat
4.
petunjuk
5.
keterangan terdakwa.
Sehingga, dalam hal terjadi
pelecehan seksual, bukti-bukti tersebut di atas dapat digunakan sebagai alat
bukti. Untuk kasus terkait percabulan atau perkosaan, biasanya menggunakan
salah satu alat buktinya berupa Visum et
repertum. Menurut “Kamus Hukum” oleh JCT Simorangkir, Rudy T Erwin
dan JT Prasetyo, visum et repertum adalah surat keterangan/laporan dari seorang
ahli mengenai hasil pemeriksaannya terhadap sesuatu, misalnya terhadap mayat
dan lain-lain dan ini dipergunakan untuk pembuktian di pengadilan.
Meninjau pada definisi di atas, maka
visum et repertum dapat digunakan sebagai alat bukti surat, sebagaimana diatur
dalam Pasal 187 huruf c KUHAP: “Surat keterangan dari seorang ahli yang
memuat pendapat berdasarkan keahliannya mengenai sesuatu hal atau sesuatu keadaan
yang diminta secara resmi daripadanya.” Penggunaan Visum et repertum
sebagai alat bukti, diatur juga dalam Pasal 133 ayat (1) KUHAP:“Dalam hal
penyidik untuk kepentingan peradilan menangani seorang korban baik luka,
keracunan ataupun mati yang diduga karena perstiwa yang merupakan tindak
pidana, ia berwenang mengajukan permintaan keterangan ahli kepada ahli
kedokteran kehakiman atau dokter dan atau ahli lainnya.”Apabila visum memang
tidak menunjukkan adanya tanda kekerasan, maka sebaiknya dicari alat bukti lain
yang bisa membuktikan tindak pidana tersebut. Pada akhirnya, Hakim yang akan
memutus apakah terdakwa bersalah atau tidak berdasarkan pembuktian di
pengadilan.
5. Penyelesaian Kasus Tindakan Kriminal Pelecehan Seksual Berdasarkan Pandangan Teori Sosial
Dalam
penyelesaian
kasus
tindakan
kriminalitas
berdasarkan
penggunaan
teori
sosial ,penulis
menggunakan
teori
sebab
akibat (kausalitas) dan
teori
fenomenologi
dari
Edmud
Husrrel.
1.
Teori
Kausalitas
Setiap
perbuatan menimbulkan akibat, baik akibat secara langsung maupun tidak
langsung. Namun, tidak semua akibat menimbulkan hukum tertentu atau dengan kata
lain tidak semua perbuatan menimbulkan akibat hukum. Akibat hukum bisa
ditimbulkan oleh satu perbuatan atau satu delik dan bisa juga ditimbulkan oleh
beberapa perbuatan atau serangkaian perbuatan yang saling berhubungan dan
saling mendukung untuk terjadinya suatu akibat. Misal:
L hamil diluar nikah dengan N, karena N tidak mau bertanggung jawab, maka L memutuskan untuk menggugurkan kandungannya kepada S yakni seorang bidan didaerahnya. Karena pendarahan hebat usai menggugurkan kandungannya, L dibawa kerumah sakit. Sesampai dirumah sakit, dokter yang seharusnya menolong L sedang mengisi sebuah seminar diluar lingkungan rumah sakit tersebut, sehingga L kehabisan darah dan mati. Akibat hukum yang ditimbulkan oleh serangkaian perbuatan seperti contoh tersebut, menuntut adanya sebab terdekat yang bisa dimintai pertanggung jawabannya. Dalam hukum pidana, tentang hal tersebut memiliki suatu teori yang disebut teori sebab-akibat. Suatu akibat yang dilarang dalam KUHP harus ditentukan sebabnya dan dimintai pertanggung jawabannya, oleh karena itu antara sebab dan akibat yang ditimbulkan haruslah memiliki hubungan kausal yang jelas, sehingga bisa dibuktikan bahwa akibat hukum yang terjadi benar-benar disebabkan oleh perbuatan pelaku yang dimintai pertanggung jawabannya
Penentuan sebab suatu akibat dalam hukum pidana adalah merupakan suatu hal yang sulit dipecahkan. Didalam kitab Undang- Undang Hukum Pidana (KUHP), pada dasarnya tidak tercantum petunjuk tentang cara untuk menentukan sebab suatu akibat yang dapat menciptakan suatu delik. KUHP hanya menentukan dalam beberapa pasalnya, bahwa untuk delik-delik tertentu diperlukan adanya suatu akibat tertentu untuk menjatuhkan pidana terhadap pembuat, seperti misalnya pasal 338 KUHP tentang kejahatan terhadap nyawa. Bahwa pembunuhan hanya dapat menyebabkan pelakunya dipidana apabila seseorang meninggal dunia oleh pembuat menurut pasal 338 KUHP tersebut.
Teori kausalitas atau ajaran sebab akibat, tidak hanya mengajarkan tentang kausalitas pada delik komisi, tapi juga mengajarkan kausalitas pada delik omisi.
Kausalitas disebut juga hubungan sebab akibat, dimana setiap akibat yang muncul harus ditentukan sebab dari akibat tersebut, yakni sebab yang memiliki hubungan kausal dengan akibat. Sehingga, bisa dimintai pertanggung jawabannya pada si pelaku. Menurut Andi Hamzah dalam bukunya “Asas-asas hukum pidana”, setiap kejadian alam maupun kejadian social tidaklah terlepas dari rangkaian sebab akibat, peristiwa alam maupun social yang terjadi adalah rangkaian akibat dari peristiwa lain maupun social yang telah terjadi sebelumnya. Setiap peristiwa social menimbulkan satu atau beberapa peristiwa social yang lain, demikian seterusnya, yang satu mempengaruhi yang lain, sehingga merupakan rangkaian sebab akibat. Jadi, hubungan kausal yang ada, yang saling terkait dan saling mempengaruhi itulah yang yang disebut dengan kausalitas atau hubungan sebab akibat. Untuk menentukan adanya suatu perbuatan pidana yang bisa dimintai pertanggung jawabannya, diperlukan ajaran sebab akibat. Dimana ajaran sebab akibat sangat berperan dalam hal menentukan unsur perbuatan yang menimbulkan akibat. Sehingga, dapat ditentukan hubungan antara akibat tertentu dengan perbuatan orang yang menimbulkan akibat. Dengan demikian, bahwa orang tersebut telah melakukan tindak pidana dan dituntut untuk dipertanggung jawabkan kepadanya.
L hamil diluar nikah dengan N, karena N tidak mau bertanggung jawab, maka L memutuskan untuk menggugurkan kandungannya kepada S yakni seorang bidan didaerahnya. Karena pendarahan hebat usai menggugurkan kandungannya, L dibawa kerumah sakit. Sesampai dirumah sakit, dokter yang seharusnya menolong L sedang mengisi sebuah seminar diluar lingkungan rumah sakit tersebut, sehingga L kehabisan darah dan mati. Akibat hukum yang ditimbulkan oleh serangkaian perbuatan seperti contoh tersebut, menuntut adanya sebab terdekat yang bisa dimintai pertanggung jawabannya. Dalam hukum pidana, tentang hal tersebut memiliki suatu teori yang disebut teori sebab-akibat. Suatu akibat yang dilarang dalam KUHP harus ditentukan sebabnya dan dimintai pertanggung jawabannya, oleh karena itu antara sebab dan akibat yang ditimbulkan haruslah memiliki hubungan kausal yang jelas, sehingga bisa dibuktikan bahwa akibat hukum yang terjadi benar-benar disebabkan oleh perbuatan pelaku yang dimintai pertanggung jawabannya
Penentuan sebab suatu akibat dalam hukum pidana adalah merupakan suatu hal yang sulit dipecahkan. Didalam kitab Undang- Undang Hukum Pidana (KUHP), pada dasarnya tidak tercantum petunjuk tentang cara untuk menentukan sebab suatu akibat yang dapat menciptakan suatu delik. KUHP hanya menentukan dalam beberapa pasalnya, bahwa untuk delik-delik tertentu diperlukan adanya suatu akibat tertentu untuk menjatuhkan pidana terhadap pembuat, seperti misalnya pasal 338 KUHP tentang kejahatan terhadap nyawa. Bahwa pembunuhan hanya dapat menyebabkan pelakunya dipidana apabila seseorang meninggal dunia oleh pembuat menurut pasal 338 KUHP tersebut.
Teori kausalitas atau ajaran sebab akibat, tidak hanya mengajarkan tentang kausalitas pada delik komisi, tapi juga mengajarkan kausalitas pada delik omisi.
Kausalitas disebut juga hubungan sebab akibat, dimana setiap akibat yang muncul harus ditentukan sebab dari akibat tersebut, yakni sebab yang memiliki hubungan kausal dengan akibat. Sehingga, bisa dimintai pertanggung jawabannya pada si pelaku. Menurut Andi Hamzah dalam bukunya “Asas-asas hukum pidana”, setiap kejadian alam maupun kejadian social tidaklah terlepas dari rangkaian sebab akibat, peristiwa alam maupun social yang terjadi adalah rangkaian akibat dari peristiwa lain maupun social yang telah terjadi sebelumnya. Setiap peristiwa social menimbulkan satu atau beberapa peristiwa social yang lain, demikian seterusnya, yang satu mempengaruhi yang lain, sehingga merupakan rangkaian sebab akibat. Jadi, hubungan kausal yang ada, yang saling terkait dan saling mempengaruhi itulah yang yang disebut dengan kausalitas atau hubungan sebab akibat. Untuk menentukan adanya suatu perbuatan pidana yang bisa dimintai pertanggung jawabannya, diperlukan ajaran sebab akibat. Dimana ajaran sebab akibat sangat berperan dalam hal menentukan unsur perbuatan yang menimbulkan akibat. Sehingga, dapat ditentukan hubungan antara akibat tertentu dengan perbuatan orang yang menimbulkan akibat. Dengan demikian, bahwa orang tersebut telah melakukan tindak pidana dan dituntut untuk dipertanggung jawabkan kepadanya.
Jadi,
tujuan ajaran sebab akibat (causaliteitsleer) adalah :
a. Untuk
menentukan hubungan antara sebab – akibat, yang berarti menentukan adanya atau
tidak adanya tindak pidana.
b. Untuk
menentukan pertanggung jawaban seseorangatas suatu akibat tertentu yang berupa
suatu tindak pidana.
Menghindari
pelecehan seksual ditempat umum memang tidak mudah, tapi bisa diminimalisir
dengan penggunaan pakaian yang "sopan" atau tidak memancing gairah
atau bisa juga bepergian selalu ditemani oleh muhrimnya. Meskipun itu belum
menjamin terhindar dari tindakan tersebut. Tapi paling tidak itu merupakan
jalan terbaik yang bisa dilakukan, karena belum ada "polisi khusus
pencegah pelecehan seks di tempat umum". Atau pemerintah seharusnya lebih
mengetatkan peraturan di tempat umum, misal bis kota yang harus mengangkut
penumpang sesuai kapasitas kursi yang tersedia hingga tidak terjadi kepadatan
yang sangat berpotensi terjadi pelecehan seksual.
2.
Teori
Fenomenologi
Beberapa sumber menyebutkan, Istilah fenomenologi
berasal dari bahasa Yunani: Phainestai yang artinya “menunjukkan” dan
“menampakkan diri sendiri”. Sebagai aliran epistemologi
Dalam bahasa indonesia biasa dipakai istilah gejala.
Secara istilah, fenomenologi adalah ilmu pengetahuan (logos) tentang apa
yang tampak. Dari pengertian tersebut dapat dipahami bahwa fenomenologi adalah
suatu aliran yang membicarakan fenomena atau segala sesuatu yang tampak atau
yang menampakkan diri
Seorang Fenomenolog suka melihat gejala. Dia berbeda
dengan seorang ahli ilmu positif yang mengumpulkan data, mencari korelasi dan
fungsi, serta membuat hukum-hukum dan teori. Fenomenolog bergerak di bidang
yang pasti. Hal yang menampakkan dirinya dilukiskan tanpa meninggalkan bidang evidensi
yang langsung. Fenomenologi adalah suatu metode pemikiran, “a way of looking
at things”.
Dari keterangan di atas dapat dipahami bahwa fenomenologi
ini mengacu kepada analisis kehidupan sehari-hari dari sudut pandang orang yang
terlibat di dalamnya. Tradisi ini memberi penekanan yang besar pada persepsi
dan interpretasi orang mengenai pengalaman mereka sendiri. Fenomenologi melihat
komunikasi sebagai sebuah proses membagi pengalaman personal melalui dialog
atau percakapan. Bagi seorang fenomenolog, kisah seorang individu adalah lebih
penting dan bermakna daripada hipotesis ataupun aksioma. Seorang penganut
fenomenologi cenderung menentang segala sesuatu yang tidak dapat diamati.
Fenomenologi juga cenderung menentang naturalisme (biasa juga disebut
objektivisme atau positivisme). Hal demikian dikarenakan Fenomenolog cenderung
yakin bahwa suatu bukti atau fakta dapat diperoleh tidak hanya dari dunia
kultur dan natural, tetapi juga ideal, semisal angka, atau bahkan kesadaran
hidup.
Jelasnya, fenomenologi mencoba menepis semua asumsi
yang mengkontaminasi pengalaman konkret manusia. Ini mengapa fenomenologi
disebut sebagai cara berfilsafat yang radikal. Fenomenologi menekankan upaya
menggapai “hal itu sendiri” lepas dari segala presuposisi. Langkah
pertamanya adalah menghindari semua konstruksi, asumsi yang dipasang sebelum
dan sekaligus mengarahkan pengalaman. Tak peduli apakah konstruksi filsafat,
sains, agama, dan kebudayaan, semuanya harus dihindari sebisa mungkin. Semua
penjelasan tidak boleh dipaksakan sebelum pengalaman menjelaskannya sendiri
dari dan dalam pengalaman itu sendiri. Fenomenologi menekankan perlunya
filsafat melepaskan diri dari ikatan historis apapun—apakah itu tradisi
metafisika, epistimologi, atau sains. Program utama fenomenologi adalah
mengembalikan filsafat ke penghayatan sehari-hari subjek pengetahuan. Kembali
ke kekayaan pengalaman manusia yang konkret, lekat, dan penuh penghayatan.
Selain itu, fenomenologi juga menolak klaim representasionalisme epistimologi
modern. Dengan demikian, fenomenologi yang dipromosikan Husserl ini dapat
disebut sebagai ilmu tanpa presuposisi. Hal ini jelas bertolak belakang
dengan modus filsafat sejak Hegel menafikan kemungkinannya ilmu pengetahuan
tanpa presuposisi, dimana presuposisi yang menghantui filsafat
selama ini adalah naturalisme dan psikologisme.
Dari sisi fenomenologi dapat dilihat dari beberapa
sudut pandang tentang perilaku tindakan pelecehan seksual, jika dari tersangka
bisa saja seseorang tersebut memendam dendam yang mendalam kepada korban
sehingga melampiaskan dendamnya dengan car amelecehkan korban, bisa juga
tersangka terpancing oleh sikap yang ditimbulkan oleh korban, misal korban
berpakaian yang mengundang syahwat, korban suka menghina, dan lain sebagainya.
PENUTUP
I.
Kesimpulan
Tindakan kriminalitas pelecehan seksual secara hukum
dan teori sudah di tetapkan dalam
didalam Kitab undang-undang Hukum pidana (KUHP). Pelecehan seksual dapat
dilihat melalui teori kausalitas atau sebab akibat, dimana suatu kejadian tidak
akan terjadi jika tidak ada yang memulai, semua yang terjadi karena
ada sebab yang mendasari kenapa hal tersebut dapat terjadi, semisal pelecehan seksual yang dilihat dari
segi kausalitas, pelecehan tidak akan terjadi jika korban tidak memancing
syahwat dari pelaku pelecehan, korban tidak memacing amarah tersangka.
Memang menghindari pelecehan seksual
ditempat umum memang tidak mudah, tapi bisa diminimalisir dengan penggunaan
pakaian yang "sopan" atau tidak memancing gairah atau bisa juga
bepergian selalu ditemani oleh muhrimnya. Meskipun itu belum menjamin terhindar
dari tindakan tersebut. Tapi paling tidak itu merupakan jalan terbaik yang bisa
dilakukan, karena belum ada "polisi khusus pencegah pelecehan seks di
tempat umum". Atau pemerintah seharusnya lebih mengetatkan peraturan di
tempat umum, misal bis kota yang harus mengangkut penumpang sesuai kapasitas
kursi yang tersedia hingga tidak terjadi kepadatan yang sangat berpotensi
terjadi pelecehan seksual.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar