MAKALAH
POLA DAKWAH WALISONGO
Disusun Guna Untuk Memenuhi Tugas
Mata Kuliah :
Sejarah Dakwah
Dosen Pengampu : Agus Riyadi, S.Sos.I M.Si
Disusun
Oleh :
Siti
Ani Munasaroh (1501046002)
FAKULTAS
DAKWAH DAN KOMUNIKASI
UNIVERSITAS
ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2016
BAB I
PENDAHULUAN
I.
Latar
Belakang
Walisongo atau Walisanga dikenal sebagai penyebar agama Islam di tanah Jawa pada abad ke 14. Mereka tinggal di
tiga wilayah penting pantai utara Pulau Jawa, yaitu
Surabaya-Gresik-Lamongan-Tuban di Jawa Timur, Demak-Kudus-Muria di Jawa Tengah,
dan Cirebon di Jawa Barat. Era Walisongo adalah era berakhirnya dominasi Hindu-Budha dalam budaya Nusantara untuk
digantikan dengan kebudayaan Islam. Mereka adalah simbol penyebaran
Islam di Indonesia, khususnya di Jawa. Tentu banyak tokoh lain yang juga
berperan. Namun peranan mereka yang sangat besar dalam mendirikan Kerajaan
Islam di Jawa, juga pengaruhnya terhadap kebudayaan masyarakat secara luas
serta dakwah secara langsung, membuat para Walisongo ini lebih banyak disebut
dibanding yang lain.
Dengan menggunakan pola dakwah yang dicetuskan oleh para
wali untuk menyebarkan agama Islam yang kemudian dianut oleh sebagian besar
masyarakat di Jawa, mulai dari perkotaan, pedesaan, pegunungan, sehingga Islam
menjadi agama yang mengakar dikalangan masyarakat. Proses Islamisasi ditanah
jawa pun berjalan dengan aman dan damai.hal ini dikarenakan para wali
menggunakan pola dakwah yang sangat luar biasa, diantaranya menggunakan
pendekatan kulturral yang sarat dengan simbol-simbol kebudayaan lokal
masyarakat Jawa, seperti wayang dan gamelan. Akulturasi yang dilakukan oleh
walisongo berhasil menyelaraskan agama yang ada ditanah Jawa. Untuk mengetahui
keberhasilan yang dicapai oleh walisongo dalam berdakwah,dalam makalah ini akan
membahas tentang makna dari walisongo itu sendiri, biografi para tokoh
walisongo serta pola dakwah yang digunakan oleh walisongo dalam penyebaran
agama Islam.
II.
Rumusan Masalah
a.
Apa
makna dari walisongo?
b.
Bagaimana
biografi tokoh dalam walisongo?
c.
Bagaimana
gerakan dakwah yang dilakukan oleh walisongo?
d.
Bagaimana
pola dakwah yang digunakan oleh walisongo untuk menyebarkan agama Islam?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Walisongo
Menurut
pemahaman yang berkembang dalam masyarakat Jawa, istilah Wali Songo atau
sembilan wali, dikaitkan dengan sekelompok penyiar agama di Jawa yang hidup
dalam kesucian sehingga memiliki kekuatan batin tinggi, berilmu kesaktian luar
biasa, memiliki ilmu jaya kewijayan, dan keramat. Prof. K.H.R. Moh. Adnan
berpendapat bahwa kata songo dalam
kata Wali Songo merupakan perubahan atau kerancuan dari pengucapan kata sana, yang dipungut dari kata Arab tsana (mulia) yang searti dengan kata Mahmud (terpuji), sehingga pengucapan
yang betul adalah Wali Sana yang berarti ‘wali-wali yang terpuji’. Pendapat
Prof. K.H.R. Moh. Adnan ini tidak disepakati oleh Amen Budiman, yang dalam buku
berjudul Wali Sanga Legenda dan Fakta
Sejarah (1982) menegaskan bahwa kata Wali Songo bermakna ‘wali sembilan’,
tidak ubahnya arti kata Jawa yang serupa seeperti, misal, Kembang Telon, yang
berarti ‘serangkum bunga yang terdiri dari tiga jenis kembang: Kenanga, kantil,
dan melati’. Didalam alam pemikiran masyarakat Jawa, angka sembilan memang
mempunyai makna khusus, seperti tampak dalam pandangan orang Jawa Kuno mengenai
klasifikasi alam dunia ini tidak ubahnya dengan angka delapan. Oleh karena itu,
jika masyarakat Jawa sampai mempunyai konsep Wali Songo, lahirnya konsep itu
tidaklah mengherankan dan sekaligus menunjukkan kepada kita bahwa yang dimaksud
dengan songo dalam terminologi Wali
Songo tidak lain adalah ‘sembilan’, bukan perubahan dari kata sana yang berasal dari perkataan Arab tsana yang berarti ‘yang terpuji’
sebagaimana dikemukakan Prof. K.H.R. Moh. Adnan.
R.
Tanojo dalam kitab Walisana menandaskan
bahwa istilah yang benar dari Wali Songo adalah Walisana. Namun, kata sana bukan
berasal dari bahasa Arab tsana tetapi
berasal dari bahasa Jawa kuno sana yang
bermakna tempat, daerah, wilayah. Dengan penafsiran itu, maka yang dimaksud
Walisana bermakna ‘wali disuatu tempat, daerah atau wali penguasa wilayah
tertentu’. Dalam kapasitas sebagai penguasa wilayah tertentu, Walisana diberi
sebutan sunan, susuhunan, sinuhun, dengan disertai sebutan kanjeng kependekan
dari kata kang jumeneng, pangeran,
sebutan yang lazim diterapkan bagi raja atau penguasa pemerintahan di Jawa.
Menurut kitab Walisana, wali-wali yang disebut sebagai Walisana itu tidak
berjumlah sembilan melainkan hanya delapan orang.
Sementara
itu, menurut Prof. Dr. Simuh (1986)
bilangan sembilan merupakan bilangan magis di Jawa dan tidak berasal dari
budaya santri. Pandangan Simuh ini, berkait erat dengan kosmologi orang Jawa
beragama Hindu yang meyakini bahwa alam semesta ini di atur dan di lindungi
oleh dewa-dewa penjaga mata angin. Ada delapan dewa penguasa mata angin dan
satu dewa penguasa arah pusat, sehingga keseluruhannya berjumlah sembilan.
Kosmologi yang sama juga di anut oleh orang Bali beragama Hindu dengan sedikit
perbedaan pada nama dewa. Menurut R.Pitno dalam Warna Sari Sedjarah Indonesia Lama II (1969), sembilan dewa
penguasa mata angin di Jawa sebagaimana dijumpai pada tertib kosmos pada Candi
Lorodjonggrang meliputi: Kuwera (Utara), Isyana (Timur Laut), Indra (Timur),
Agni (Tenggara), Kama (selatan), Surya (Barat Daya), Baruna (Barat), Bayu
(Barat Laut), ditambah satu penjaga titik pusat, yaitu Syiwa.[1]
Bagi
masyarakat muslim Indonesia, sebutan Wali Songo mempunyai makna khusus yang
dihubungkan dengan tokoh-tokoh keramat di Jawa, yang berperan penting dalam
usaha penyebaran dan perkembangan Islam pada abad ke-15 dan ke-16 Masehi.
Menurut Solichin Salam dalam Sekitar Wali
Songo, kata Wali Songo merupakan kata majemuk yang berasal dari kata Wali dan Songo. Kata wali berasal dari bahasa Arab, suatu
bentuk singkatan dari waliyullah, yang berarti ‘orang yang mencintai dan
dicintai Allah’. Sedangkan kata songo berasal
dari bahasa Jawa yang berarti ‘sembilan’. Jadi, Wali Songo Berarti ‘Wali
Sembilan’, yaitu ‘sembilan orang yang mencintai dan dicintai Allah’. Mereka
dipandang sebagai ketua kelompok dari sejumlah besar muballigh Islam yang
bertugas mengadakan dakwah Islam di daerah-daerah yang belum mengenal Islam di
Jawa.
Pendapat
lain mengatakan bahwa Walisongo bukanlah berarti wali yang jumlahnya Sembilan
(songo) saja sebagaimana yang diketahui oleh masyarakat Jawa. Akan tetapi Walisongo
adalah sebuah nama bagi organisasi dakwah, dewan dakwah, dewan Muballigh, dewan
ulama, majlis parawali, atau lembaga dakwah. Apabila dari salah seorang dari anggota
dewan atau majelis tersebut pergi atau wafat, maka akan diganti wali yang lain.
Oleh karena itu jumlah wali tetap Sembilan dalam setiap angkatan. sebagaimana padangan
Asnan Wahyudi dan Abu Khalid,bahwa Walisongo adalah sebuah nama suatu lembaga
bagi dewan dakwah atau dewan ulama, sedangkan kata Sembilan di identifikasikan sebagai
struktur kepemimpinan dalam lembaga dakwah tersebut.[2]
Dengan
demikian, dapat disimpulkan bahwa istilah Walisongo yang lebih dekat dengan fakta
sejarah adalah berasal dari kata Wali dan Songo, wali berarti
orang yang beriman dan bertaqwa dan dekat dengan Allah SWT. Sedangkan songo adalah
bilangan angka Sembilan dalam bahasa Jawa. Dengan demikian, walisongo adalah wali
yang berjumlah Sembilan yang tergabung dalam sebuah lembaga dakwah, dewan ulama
atau majelis wali. Setiap kali ada wali yang meninggal maka diangkatlah wali
yang lain sebagai pengganti.
B.
Gerakan Dakwah Walisongo
Dalam
konteks kesejahteraan, keberadaan Wali Songo di satu sisi berkaitan erat dengan
kedatangan muslim asal Champa yang ditandai kemuculan tokoh sunan Ampel,
sesepuh Wali Songo disisi lain, berkaitan juga dengan proses menguatnya kembali
unsur-unsur budaya asli Nusantara dari Zaman prasejarah. Unsur-unsur budaya
asli Nusantara dimaksud adalah anasir agama Kapitayan yang ditandai pemujaan
terhadap To (roh penjaga) di Tu-k (mata air) Tu-ban (air terjun), Tu-rumbukan
(pohon beringin), pemujaan daya sakti Tu di wa-Tu (batu), Tu-gu, Tu-nggul
(panji-panji), Tu-lang, dan pemujaan serta penyembahan kepada Sangyang Taya di
Tu-tuk (lubang) yang terdapat didalam sanggar, yang berjalin-berkelindan dengan
pengaruh budaya Hindu-Budha dan tradisi keagamaan muslim Champa. Melalui
prinsip dakwah yang kemudian oleh para ulama-peneliti disebut dengan “al-muhafadzah ‘alal qadimish shalih wal
akhdu bil jadidil ashlah”, unsur-unsur budaya lokal yang beragam dianggap
sesuai dengan sendi-sendi tauhid, diserap kedalam dakwah Islam.
Menurut
Soekmono (1974) asimilasi dan sinkretisasi Islam yang dibawa oleh para penyebar
Islam asal Champa dengan ajaran agama asli Nusantara, terjadi secara masif
terutama dikalangan petani dipedesaan yang nyaris lebih mengenal pemujaan
terhadap menhir lambang pelindung
desanya dari pada pemujaan terhadap dewa-dewa Hindu-Budha. Masih menurut
Soekmono (1959), yang menjadi dasar dan pokok kebudayaan Indonesia zaman madya
adalah kebudayaan purba (Indonesia asli), tetapi telah di islamkan. Yang
dimaksud kebudayaan purba dalam konteks itu adalah kebudayaan Malaio-Polinesia
pra-Hindu oleh Prof. Dr. C.C Berg (1938) dan Prof. Dr. G.J. Held (1950) disebut
animisme dan dinamisme, yaitu kebudayaan yang lahir dari kepercayaan masyarakat
terhadap benda-benda yang di anggap memiliki “daya sakti” dan kepercayaan
terhadap arwah leluhur. Yang dimaksud C.C Berg dan G.J. Held dengan kebudayaan
Malaio-Polinesia pra-Hindu yang animis dan dinamisitu, tidak lain adalah agama
asli Nusantara yang disebut Kapitayan. Proses islamisasi kebudayaan purba
sebagaimana ditengarai soekmono adalah bukti berlangsungnya asimilasi
sosiokultural-religius yang telah dilakukan para penyebar Islam generasi Wali
Songo.
Sejarah
mencatat, selama rentang waktu antara 1446-1471 M sebagian besar penduduk Champa
beragama Islam berbondong-bondong mengungsi ke Nusantara. Rentang waktu itu,
tepat berurutan dengan terjadinya proses islamisasi besar-besaran di Nusantara
yang dikenal sebagai zaman awal Wali Songo. Dalam catatan historiorafi lokal di
Cirebon, Banten, maupun Jawa, dituturkan bagaimana para ulama dan bangsawan
asal Champa seperti Syaikh Hasanuddin Quro di karawang. Raja pandhita di
Gresik, dan Sunan Ampel di Surabaya, dengan kebijaksanaan-kebijaksaan dakwahnya
melalui jaringan kekeluargaan yang terkoordinasi dalam gerakan dakwah Wali
Songo, menyampaikan ajaran Islam kepada masyarakat melalui pendekatan bersifat
sosiokultural-religius lewat asimilasi dan sinkretisasi dengan adat budaya dan
tradisi keagamaan yang ada di Nusantara. Asimilasi dan sinkretisasi Islam
Champa dengan adat budaya dan tradisi keagamaan setempat di Nusantara itu
kemungkinan terjadi, karena menurut data terbaru ilmu etnografi dan ilmu bahasa
sebagaimana di ungkapkan Cabaton (1981) terdapat bukti kuat bahwa orang-orang
Champa adalah serumpun dengan suku Melayu-Polinesia, berkerabat dengan orang
Melayu, dan menggunakan bahasa Melayu.
Gerakan
dakwah Wali Songo menunjuk pada usaha-usaha penyampaian dakwah Islam melalui
cara-cara damai, terutama melalui prinsip maw’idzatul
hasanah wa mujadalah billati hiya ahsan, yaitu metode penyampaian ajaran
Islam melalui cara cara dan tutur bahasa yang baik. Dewasa itu, ajaran Islam
dikemas oleh para ulama sebagai ajaran yang sederhana dan dikaitkan dengan pemahaman masyarakat
setempat atau Islam "dibumikan" sesuai adat budaya dan kepercayaan
penduduk setempat lewat proses asimilasi dan sinkretisasi. Pelaksanaan dakwah
dengan cara ini memang membutuhkan waktu lama, tetapi berlangsung secara damai.
Menurut Thomas W. Arnold dalam The
preaching of Islam (1977), tumbuh dan berkembangnya agama Islam secara
damai ini lebih banyak merupakan hasil usaha para mubaligh penyebar Islam
dibandingkan dengan hasil usaha para pemimpin negara.
C.
Biografi walisongo dan pola dakwah
yang digunakan
1.
Sunan Gresik
(Maulana Malik Ibrahim)
Maulana Malik
Ibrahim atau lebih dikenal sebagai Sunan Gresik, lahir pada tahun 1350 M. Ada
yang menyatakan bahwa ia adalah keturunan Zainal Abidin bin Hasan bin Ali bin
Abi Thalib. Di samping itu, ada juga yang mengatakan bahwa ia berasal dari
Gujarat dan merupakan pedagang yang datang ke Pulau Jawa kemudian menyebarkan
ajaran Islam.
Sunan Gresik
berasal dari daerah Maghribi, Afrika Utara. Beliau datang ke Indonesia pada
zaman Majapahit tahun 1379 untuk syiar Islam, bersama Raja Cermin dan
petra-putrinya. Raja Cermin adalah Raja Hindustan. Syekh Maghribi wafat tahun
1419M/882H.
Objek
Dakwah Sunan Gresik adalah masyarakat yang memeluk agama Hindu atau Budha. Ia
mendirikan pesantren di Gresik sebagai tempat belajar agama Islam. Ia wafat
pada tanggal 12 Rabiul Awwal 822H (8 April 1419M) dan dimakamkan di pemakaman
Gapura Wetan, Gresik, Jawa Timur.
Strategi
dakwah yang dilakukan oleh Maulana Malik Ibrahim, yaitu :
Dengan
cara
menjauhi
konfrontasi, beliau
mulai
meluncurkan
dakwahnya, kepada
masyarakat
yang menganut agama
Hindu, “agama resmi kerajaan Majapahit”. Beliau
melakukan
sesuatu yang sangat
sederhana, yaitu
membuka
warung, beliau
menjual
berbagai
macam
makanan
dengan
harga
murah, dalam
waktu
singkat, warungnya
dikunjungi
banyak orang, kemudian
melangkah
ketahap
berikutnya
yaitu, membuka
praktek
sebagai
tabib,dengan
doa-doa yang di ambil
dari Al-Qur’an, beliau
terbukti dapat menyembuhkan penyakit, sehingga
seolah-olah
beliau
berubah
menjadi “dewa
penyelamat”, dan
beliau
tidak
mau
dibayar.
Dalam komunitas Hindu saat itu, beliau cepat
dikenal, karena beliau sanggup menembus sekat-sekat kasta. Beliau memperlakukan
semua orang sama derajatnya. Seiring berjalannya waktu, pengikutnya semakin bertambah,
kemudian beliau mendirikan masjid.[3]
Kemudian, beliau
ingin
mendirikan
tempat
untuk
menimba
ilmu, yaitu
pesantren. Dalam
mengajarkan
ilmunya, beliau mempunyai kebiasaan khas yaitu meletakkan Al-Qur’an, kitab
Hadits
atau
kitab yang lain diletakkan
diatas
bantal, kemudian
beliau
mendapat
julukan “Kakek
Bantal”. Kendati
pengikutnya terus bertambah, namun
beliau
belum
puas
sebelum
mengislamkan Raja Majapahit
yang saat itu masih beragama Hindu-Budha, beliau
paham
bahwa
tradesi
Jawa
sarat
dengan
kultur
”patron-client”. Rakyat akan selalu merujuk dan bertela dan pada perilaku Raja. Karena
itu
mengislamkan Raja adalah
pekerjaan yang sangat
strategis. Dengan meminta bantuan Raja Cermin
untuk menikahkah putrinya dengan penguasa Majapahit, namun sayangnya strategi
ini gagal karena pada saat itu muncul wabah penyakit, sehingga banyak memakan
korban.[4]
Menantu
Raja Campa. Syekh Ibrahim Asmarakandi mencoba membujuk Raja Campa untuk masuk
islam, akhirnya sang Raja mau menerima ajakan tersebut karena sudah banyak
warga Campa yang masuk Islam. Beliau mempunyai tiga anak, anak yang pertama
menikah dengan Prabu Brawijaya Majapahit, putri yang kedua menikah dengan Syekh
Ibrahim Asmarakandi, dan lahirlah dua anak yaitu Raden Rahmat dan Raden Santri.
Pola
dakwah yang dilakukan oleh Maulana Malik Ibrahim yaitu dengan cara bergaul
dengan para remaja, dengan begitu beliau akan lebih mudah menyebarkan
dakwahnya, karena dengan begitu beliau mengetahui karakter mad’unya sehingga
dapat menentukan metode yang tepat untuk menyampaikan ajarannya. Dan Membuka
pendidikan pesantren.
2.
Sunan Ampel
(Raden Rahmat)
Sunan Ampel
atau Raden Rahmat adalah putra Syech Maulana Malik Ibrahim dan Dewi Candra
Wulan.Ia memulai dakwahnya dengan mendirikan pesantren di Ampel Denta,dekat
surabaya.Murid-muridnya,antara lain Raden Paku (Sunan Giri) Sunan Bonang ,Sunan
Drajat ,dan Maulana Ishak yang berdakwah di daerah Blambangan.
Sunan Ampel
sangat berpengaruh di kalangan istana Majapahit,bahkan istrinya dari kalangan
istana.Dengan demikian ,ia tidak mendapatkan hambatan yang berarti dalam
berdakwah.Ia juga merupakan penyokong kesultanan Demak dan ikut mendirikan
Masjid Agung Demak pada tahun 1497 Masehi bersama wali-wali lain.
Sunan Ampel
menginginkan agar masyarakat menganut keyakinan yang murni.Sebaliknya ,sunan
kalijaaga mengusulkan agar adat-istiadat jawa diberi warna islam.Sunan Ampel
setuju,walaupun ia tetap menginginkan adat- istiadat tersebut di hilangkan
,karena bagian dari bid’ah.Ia wafat pada tahun 1481 Masehi di Ampel dan di
makamkan di kompleks pemakaman Masjid Ampel,Surabaya.
Gerakan Dakwah Sunan
Ampel
Dalam
Sedjarah Dalem, disebutkan bahwa
putri Arya Lembu Sura Menikah dengan penguasa Tuban, Arya Teja, dan menurunkan
Bupati-bupati Tuban. Disebutkan putri Arya Lembu Sura yang lain yang bernama
Retna Panjawi menikah dengan Prabu Brawijaya dari Majapahit. Lewat tokoh Prabu
Brawijaya yang juga menikahi bibi Raden Rahmat, hubungan dengan Arya Lembu Sura
terjalin. Itu sebabnya, setelah Prabu Brawijaya menyerahkan Raden Rahmat kepada
penguasa Surabaya yang beragama Islam, dia tidak hanya mengangkatnya sebagai
imam di Ampel, tetapi menikahkannya dengan Nyai Ageng Manila, putri penguasa
Tuban, Arya Teja sekaligus dengan pengguasa Surabaya Arya Lembu Sura.
Lewat
hubungan kekerabatan dengan penguasa Surabaya, Arya Lembu Sura itulah yang
membawa Raden Rahmat berkedudukan sebagai Bupati, menggantikan kedudukannya.
Dengan berkedudukan sebagai bupati yang berkuasa disuatu wilayah, gerakan
dakwah yang dilakukan oleh Raden Rahmat lebih leluasa, terutama dalam usaha
memperkuat jaringan kekerabatan dengan penguasa-penguasa wilayah lain. Didalam Babad Tanah Djawi dituturkan bagaimana
dalam upaya memperkuat kekerabatan untukk tujuan dakwah, Raden Rahmat
menikahkan Khalifah Usen (nama tempat di Rusia Selatan dekat Samarkand) dengan
putri Arya Baribin, Adipati Madura.
Pengaruh
Campa diwilayah dakwah Sunan Ampel
a. Kebiasaan
mentalqin orang mati, melakukan kenduri dan memperingati kematian pada hari
ke-3, ke-7, ke-40, ke-100, dan ke-1000
b. Perayaan
1 dan 10 syuro dengan penanda bubur syuro, larangan menyelenggarakan hajat pada
bulan syuro
c. Tradisi
Rebo Wekasan atau Arba’a Akhir dibulan Safar
d. Tradisi
Nisfu Sya’ban, paham Wahdatul Wujud
e. Memeriahkan
Maulid Nabi SAW, pembacaan kasidah-kasidah memuji Nabi SAW dan ahlu bait,
si’iran yang ditujukan kepada Ali bin Abi Thalib dan keturunannya dan membaca
berbagai wirid
f. Memanggil
Ibunya dengan sebutan “mak”, kakak atau orang yang lebih tua “kak atau kang”,
adik “adhy”, anak kecil laki-laki dengan sebutan “kachoa atau kachong”.[5]
3.
Sunan Bonang
(Raden Maulana Makdum Ibrahim)
Sunan Bonang
adalah putra Sunan Ampel dan Dewi Candrawati,sekaligus merupakan sepupu Sunan
Kalijaga.Setelah belajar islam di Pasai(Aceh) ia kembali ke Tuban (Jawa Timur)
untuk mendirikan pondok pesantren.Dalam berdakwah, Sunan Bonang menyesuaikan
diri dengan corak kebudayaan masyarakat Jawa. Ia pun menyisipkan ajaran-ajaran
Islam ke dalam cerita wayang dan musik gamelan.
Kegiatan dakwah sunan Bonang di pusatkan di Tuban dan menjadikan
pesantren sebagai wadah pendidikan kader dakwah.Sunan Bonang memberikan
pendidikan Islam secara mendala kepada murid-muridnya,termasuk Raden Fatah.
Catatan-catatan pendidikannya di kenal dengan suluk Sunan Bonang yang
berbentuk prosa jawa dan banyak di pengaruhi bahasa Arab. Sampai sekarang
catatan itu masih tersimpan di Universitas Leiden, Belanda.Sunan Bonang wafat
pada tahun 1525 Masehi dan di makamkan di Tuban. Nama lain Sunan
Bonang yaitu Raden Makdum atau Maulana Makdum Ibrahim. Beliau mendapat julukan
nama Prabu Nyokrokusumo. Beliau adalah putra Sunan Ampel dan Nyai Ageng Manila.
Dalam
bidang sastra budayasumbangan beliau yaitu :
a. Dakwah
melalui perwayangan
b. Membantu
Raden Patah
c. Ikut
mendirikan masjid Demak
d. Menyempurnakan
instrumen Gamelan, terutama bonang, kenong dan kempul
e. Suluk
Wujil
f. Tembang
Macapat
Dakwah
Sunan Bonang
Menurut
Babad Daha-kediri, usaha awal yang
dilakukan Sunan Bonang dipedalaman Kediri dengan pendekatan yang cenderung keras,
tidak sekedar merusak acara yang disembah oleh penduduk setempat, bahkan sampai
mengutuk warganya. Sehingga beliau menghadapi resistensi dari masyarakat baik
berupa perdebatan atau konflik secara fisik.
Setelah dakwah tersebut
kurang berhasil, dalam berdakwah beliau dikenal sering menggunakan wahana
kesenian dan kebudayaan untuk menarik simpati masyarakat. salah satunya,dengan
perangkat gamelan Jawa yang disebut Bonang. Pada masa lampau alat ini sering
digunakan oleh aparat desa uuntuk mengumpulkan warga dalam pencapaian wara-wara
pemerintah kepada penduduk.
Proram
Dakwah yang dilakukan adalah :
a. Pemberdayaan
dan peningkatan jumlah dan mutu kader da’i, yaitu dengan mendirikan dan dakwah
islam
b. Memasukkan
pengaruh Islam kedalam kalangan bangsawan keraton Majapahit. Sunan Bonanglah
yang memberikan didikan Islam kepada Raden Patah, Sultan Demak pertama, dan
putra bangsawan lainnya
c. Terjun
langsung ke tengah-tengah masyarakat. Dalam berinteraksi dengan masyarakat
tersebut beliau menciptakan gending-gending atau tembang-tembang Jawa yang
sarat dengan misi pendidikan dan dakwah Islam seperti Simon, Dandang Gulo, Pangkur, dan lain-lain. Selain itu, beliau
juga mengganti nama-nama hari naas menurut kepercayaan Hindu dan nama dewa
Hindu dengan nama-nama malaikat dan nabi menurut Islam
d. Melakukan
kodifikasi atau pembukuan dakwah. Kodifikasi pesan dakwah atau ajarannya
dilakukan oleh para muridnya. Kitab itu ada yang berbentuk puisi maupun prosa,
kita inilah yang kemudian dikenal dengan Suluk Sunan Bonang.
4.
Sunan Giri (Raden
Paku)
Sunan Giri
adalah salah satu dari Walisanga, yang bertugas menyiarkan agama Islam di
kawasan Jawa Timur, tepatnya di daerah Gresik. Ayahnya bernama Maulana Iskak,
bersal dari Pasai. Ibunya bernama Sekardhadhu, putri raja Blambangan, Prabu
Minaksembuyu.
Menjelang
dewasa Sunan Giri berguru kepada Sunan Ampel. Sunan Giri diberi gelar oleh
Sunan Ampel dengan gelar Raden Paku. Bersama Makdum Ibrahim atau Sunan
Bonang, Raden Paku pergi haji ke Mekkah. Disana Raden Paku berjumpa dengan
ayahnya, Maulana Iskak yang sudah bergelar Syekh Awalul Islam. Sepulang
dari Mekkah Raden Paku mendirikan Pesantren di Giri, Gresik, sehingga orang
menyebutnya sebagai Sunan Giri. Dakwah Islamnya menggunakan jalur budaya, Sunan
Giri menciptakan permainan jetungan, jamuran, gula ganti, cublak-cublak
suweng, Tembang Asmarandana, Tembang Pucung. Sunan Giri wafat dalam usia 63
tahun pada awal pertengahan abad XVI Masehi dan dimakamkan di Bukit Gresik,
Jawa Timur.
Sunan Giri
adalah seorang da’i sekaligus ulama ulung yang dibekali pengetahuan Agama yang
cukup memadai. Dalam syiar dakwah yang pertama kali dilakukan adalah dengan
mendirikan masjid, kemudian beliau mendirikan beberapa pesantren dan
mengajarkan ilmu-ilmu agama, seperti ilmu fikih, ilmu hadits, serta ilmu nahwu
dan sharaf kepada anak didiknya.
Namun secara keseluruhan pola dakwah
yang telah dikembangkan adalah :
i.
Membina kader da’i inti, yaitu mereka
yang dididik dalam perguruan Giri.
ii. Mengembangkan
Islam keluar Jawa. Pola dakwah yang dilakukan wali-wali sebelumnya adalah
usahanya mengirim anak dididiknya kepelosok Indonesia untuk menyiarkan Islam,
misalnya pulau Madura, Bawean, bahkan sampai ke Ternate dan Huraku yakni
kepulauan Maluku.
Menyelenggarakan pendidikan bagi
masyarakat secara luas, yaitu dengan mewujudkan gamelan sekatan, kesenian
wayang kulit yang sarat berisikan ajaran Islam, merintis permainan-permainan
anak yang berisikan ajaran Islam, serta mengarang lagu-lagu Jawa yang disisipi
ajaran Islam.
5.
Sunan Drajat
(Raden Qasim)
Sunan Drajat adalah putra dari Sunan Ampel dan Dewi Candrawati.
Beliau hidup pada zaman Majapahit akhir, sekitar tahun 1478M. Ia terkenal
mempunyai jiwa sosial dan tema-tema dakwahnya selalu berorientasi pada
gotong-royong. Ia selalu menolong orang-orang yang membutuhkan, mengasihi anak
yatim, dan menyantuni fakir miskin.Ia wafat pada pertengahan abad XVI Masehi
dan dimakamkan di Paciran, Lamongan, Jawa Timur. Dalam kehidupan
sehari-harinya beliau dikenal sebagai waliyullah
yang bersifat sosial, dimana dalam menjalankan aktivitas dakwahnyabeliau
tidak segan-segan untuk menolong masyarakat bawah serta memperbaiki kehidupan
sosialnya.
Setelah
memberikan perhatian penuh, beliau baru memberikan pemahaman tentang Islam.
Ajarannya lebih menekankan pada empati dan etos kerja keras berupa
kedermawanan, pengentasan kemiskinan, usaha menciptakan kemakmuran, solidaritas
sosial dan gotong royong. Dalam menyebarkan agama Isam beliau juga mengajarkan
tata cara membangun rumah, membuat alat-alat yang digunakan orang untuk memikul
orang seperti tandu dan joli.
Ajaran
beliau dalam menyebarkan Islam terkenal dengan pepali pitu (tujuh dasar ajaran), yang mencakup tujuh falsafah yang
dijadikan pijakan dalam kehidupan :
a. Memangun resep tyasing sasama (kita
selalu membuat senang hati orang lain)
b. Jroning suku kudu eling lan waspodo
(dalam
suasana gembira hendaknya tetap ingat Tuhan dan selalu waspada)
c. Laksitaning subrata tan nyipta
marang pringga bayaning lampah (dalam upaya mencapai
cita-cita luhur jangan menghiraukan rintangan dan halangan)
d. Meper hardaning pancaindriya (senantiasa
menekan gejolak hawan nafsu inderawi)
e. Heneng-hening-henung (dalam
diam akan dicapai keheningan dan didalam hening, akan mencapai jalan kebebasan
mulia)
f. Menehono teken marang wong kang
wuto
Menehono
mangan marang wong kang luwe
Menehono
busana marang wong kang wudo
Menehono
pangiyup marang wong kang kaudanan
(berikan tongkat kepada
orang uta, berikan makan kepada orang lapar, berikan baju kepada orang yang tak
memiliki pakaian, berikanlah tempat berteduh bagi orang yang kehujanan).
Adapun pola dakwah yang digunakan
yaitu :
a. Mendirikan
pusat-pusat bantuan yang diatur sedemikian rupa, sehingga memudahkan dalam
pengaturan dan penyaluran bagi masyarakat yang membutuhkan
b. Membuat
kampung-kampung percontohan, kampung ini dipilih ditengah-tengah dengan tujuan
agar menjadi pusat rujukan masyarakat dalam kehidupan sehari-hari dalam segala
hal
c. Menanamkan
ajaran kolektivisme, yaitu ajaran untuk bergotong royong dimana yang kuat
menolong yang lemah dan yang kaya menolong yang miskin
d. Dibidang
kesenian beliau menciptakan tembang-tembang jawa yaitu pungkur.
6.
Sunan Kalijaga
Kanjeng sunan
kalijaga diakui masyarakat Jawa sebagai Guru Suci Ing Tanah Jawi. Mempunyai
kemampuan dalam menyampaikan dakwah dengan cara yang penuh hikmah dan
bijaksana,yakni berdakwah dengan tiga prinsip momong ,momor, dan
momot, Momong maksudnya bersedia mengasuh,membimbing dan
mengarahkan. Karena anak tidak pandai menguruskan diri sendiri,pihak pengsuh
mestilah melayani keperluan sang anak hingga anak pandai mengurus dirinya
sendiri. Momor maksudnya bersedia bergaul rapat,berkawan,bersahabat
tanpa harus mempertimbangkan status sosial dan posisi masing-masing. Momot maksudnya
bersedia menampung aspirasi dari berbagai lapisan masyarakat. Dengan cara
berdakwah Sunan Kalijaga,islam berhasil dikembangkan sampai ke plosok Jawa.
Salah seorang putra Sunan Kalijaga adalah Sunan Muria
Pola
dakwah yang dikembangkan adalah :
a. Mendirikan
pusat pendidikan dikadilangu
b. Berdakwah
lewat kesenian. Diantaranya adalah tradisi selamatan peninggalan agama Hindu
dan Budha didekati dengan cara Tahlil
c. Memasukkan
hikayat-hikayat Islam kedalam permainan Wayang. Dan beliau ini merupakan
pencipta wayang kulit dan pengaruh buku-buku wayang yang mengandung cerita
dramatis dan berjiwa Islam.
d. Beliau
menciptakan tembang-tembang yang termasyhur yaitu Kidung Rumeksa ing Wengi yang
disampaikan dalam langgam dhandanggula dan ilir-ilir.
7.
Sunan Kudus
(Ja’far Shadiq)
Sunan Kudus
adalah putra dari Utsman Haji. Adapun Utsman Haji adalah orang yang menyebarkan
agama Islam di Jipang Panolan, Blora. Sunan Kudus menyebarkan agama Islam di
Kudus. Sunan Kudus wafat pada tahun 1550 Masehi dan dimakamkan di pemakaman
Masjid Menara Kudus.
Beliau terkenal sebagai ulama besar yang
menguasai ilmu Hadits, ilmu tafsir Al-Qur’an, ilmu sastra, mantik dan paling
utama yaitu ilmu fikih.dengan ketinggian ilmunya itulah beliau mendapat julukan
“Waliyul ilmi”yang artinya wali yang
menjadi gudang ilmu. Disamping itu, beliau juga seorang pujangga besar dengan
daya kreatifitasnya yang tinggi berinisiatif mengajarkan dongeng-dongeng pondok
yang bersifat dan berjiwa seni Islam.
Pola
dakwah yang dikembangkannya lebih bercorak pada bidang kesenian. Salah satu
karya ciptanya yang terkenal adalah Gending
Maskumbang dan Mijil. Dalam menarik simpati masa, beliau melebarkan diri
dengan budaya setempat, sehingga lebih menarik dan merakyat, seperti yang
dilakukan pada saat peringatan Maulid Nabi SAW, banyak warga yang
berduyun-duyun menyaksikannya. Dan inilah yang dimanfaatkan untuk syiar dakwah
Islam. Digapura masjid semua orang harus membaca dua kalimat syahadat terlebih
dahulu sebelum memasukinya. Dan inilah yang disebut Syahadatain suatu ucapan dalam dakwahh Islam. Yang di Jawa Tengah
dan Jawa Timur terkenal dengan istilah Sekaten.[6]
Dakwah Sunan Kudus
Sunan
Kudus berusaha mendekati masyarakat untuk menyelami dan memahami apa yanng
diharapkan, dan dalam hal dakwah langsung ke masyarakat itu, beliau banyak
memanfaatkan jalur seni dan budaya beserta teknologi terapan yang bersifat
tepat guna, yang dibutuhkan masyarakat. Dalam menjalankan dakwahnya mendapat
tugas memberi bimbingan dan keteladanan kepada masyarakat yaitu beliau
menyempurnakan alat-alat pertukangan yang berguna untuk bekerja, membuat keris
pusaka dan sebagainya,menyempurnakan perkakas pande besi, perkakas untuk tukang
emas, tampaknya mempengaruhi dalam arsitektur yang tengah berkembang di
masyarakat kudus dan sekitarnya, yang sampai sekarang dikenal sebagai bangunan
khas kudus, menyusun perundang-undangan yang bisa diterapkan sebagai produk
hukum dipengadilan.[7]
8.
Sunan Muria
(Raden Umar Said)
Sunan Muria adalah
putra dari Sunan Kalijaga. Ia berdakwah di Gunung Muria dan di desa-desa
terpencil lainnya. Objek dakwahnya adalah pedagang, nelayan, dan rakyat biasa.
Ia juga menciptakan tembang yang berjudul Sinom dan Kinanti. Sunan
Muria wafat pada abad XVI Masehi dan dimakamkan di Gunung Muria, Kudus.
Nama lain dari Sunan Muria adalah Raden Prawoto dan Raden Umar Said. Beliau
adalah putra Sunan Kalijaga dan Dewi Saroh. Dalam kesehariannya beliau
mencerminkan pribadi yang menempatkan rasa cinta kepada Allah SWT, maka tak
heran beliau adalah seorang sufi atau ahli tasawuf.
Seperti
dengan wali-wali sebelumnya pola dakwah yang beliau kembangkan banyak yang
sarat dengan agama Islam yang berbentuk seni, adapun pola dakwah yang dilakukan
oleh Sunan Muria yaitu :
a. Menjadikan
daerah-daerah pelosok pegunungan sebagai pusat kegiatan dakwah
b. Berdakwah
melalui jalur kesenian, dengan menciptakan gending Sinom, Kinanti, dan sebagainya.
9.
Sunan Gunung
Jati
Beliau dai
lahirkan di daerah Pasai ,Aceh. Setelah menginjak dewasa beliau pergi ke Makkah
untuk memperdalam ilmu agama selama tiga tahun. Waktu itu tahun 1511 bangsa
Portugis sudah menguasai Malaka.Kemudian beliau merantau ke jawa,yaitu kerajaan
Demak. Di Demak beliau diterima dengan tangan terbuka oleh sultan Trenggana
yang memerintah antara tahun 1521-1546. Kepribadian Fatahillah semakin menarik
Sultan Trenggana sehingga beliau dikawinkan dengan adiknya,putri Demak.
Ekspansi Portugis kedaerah Jawa Barat kurang berkenan di hati kerajaan Demak. Di bawah pimpinan
Syarif Hidayatullah,Demak membendung Portugis di Jawa Barat. Pada tahun 1527
Sunda kelapa dapat di kendalikan Fatahillah dan memindahkannya ke Cirebon.
Kerajaan Banten di perintah oleh putra Fatahillah,Sultan Hasanuddin. Fatahillah
lantas tinggal di Cirebon untuk menyiarkann agama islam. Beliau wafat pada
tahun 1570 di Gunung Jati. Oleh karena itu beliau lebih populer disebut sebagai
Sunan Gunung Jati. Beliau merupakan salah satu peletak pondasi syiar Islam di
daerah Jawa Barat. Demikianlah dakwah walisongo dalam menyebarkan agama isla di
tanah jawa dengan menggunakan pendekatan kultural. Para wali itu berusaha
memahami seluk beluk kebudayaan lokal sehingga syiar dakwahnya mudah diterima
oleh kalangan yang sangat luas. Masyarakat Cirebon dan sekitarnya sangat
menghormati Sunan Gunung Jati, bahkan sampai sekarang banyak penziarah yang
mendatangi makamnya. Nama lain sunan gunung jati adalah Fatahillah, Falatehan,
Syarif Hidayatullah, Syeikh Nuruddin Ibrahim Ibnu Maulana Ismail, Said kamil,
dan Maulana Syekh Makdum Rahmatullah.[8]
Startegi
metode pengembangan dakwah yang dilakukan beliau lebih terfokus pada job description atau pembagian tugas di
antaranya adalah dengan melakukan:
a. Melakukan
pembinaan intern kesultanan dan rakyat yang masuk dalam wilayah Demak ditangan
wali senior. Dengan program utamanya adalah masyarakat Jawa Timur dan Jawa
Tengah harus segera di Islamkan karena mereka kekuatan pokok. Beliau
mengorientasikan dakwahnya pada pertahanan di Jawa bagian Barat dan ekspansi
asing
b. Melakukan
pembinaan terhadap luar daerah dengan menyerahkan tanggung jawabnya kepada
pemuda.
BAB III
PENUTUP
I.
Kesimpulan
Gerakan dakwah Wali Songo menunjuk pada
usaha-usaha penyampaian dakwah Islam melalui cara-cara damai, terutama melalui
prinsip maw’idzatul hasanah wa mujadalah
billati hiya ahsan, yaitu metode penyampaian ajaran Islam melalui cara cara
dan tutur bahasa yang baik. Dewasa itu, ajaran Islam dikemas oleh para ulama
sebagai ajaran yang sederhana dan
dikaitkan dengan pemahaman masyarakat setempat atau Islam "dibumikan"
sesuai adat budaya dan kepercayaan penduduk setempat lewat proses asimilasi dan
sinkretisasi. Pelaksanaan dakwah dengan cara ini memang membutuhkan waktu lama,
tetapi berlangsung secara damai. Menurut Thomas W. Arnold dalam The preaching of Islam (1977), tumbuh
dan berkembangnya agama Islam secara damai ini lebih banyak merupakan hasil
usaha para mubaligh penyebar Islam dibandingkan dengan hasil usaha para
pemimpin negara. Walisongo memiliki strategi khusus dalam penyebaran agama
Islam di tanah Jawa. Walisongo memiliki formasi 5 : 3 : 1 yaitu 5 di Jawa
Timur, 3 di Jawa Tengah, dan 1 di Jawa Barat
II.
Kritik dan saran
Seperti itulah pemakalah menyampaikan
syiar Islam di Indonesia khususnya di tanah Jawa, mereka menggunakan pola
dakwah yang berbeda-beda yang disesuiakan dengan kondisi masyarakatnya. Dalam
penyusunan makalah ini pastilah banyak kekurangan, sehingga pemakalah sangat
berharap kritik serta saran yang membangun dari para pembaca demi kebaikan kami
bersama.
DAFTAR PUSTAKA
Sunyoto Agus, Atlas
Walisongo, (Pustaka IMAN,2012)
Abdullah Rachmad, WALISONGO, Gelora dakwah dan Jihad di Tanah Jawa, (Al-Wafi,
2015)
Sutrisno Budiono H, Sejarah Walisongo Misi Pengislaman di Tanah Jawa, (GRHA Pustaka, 2007)
Purwadi,
Dakwah Sunan Kalijaga, (Yogyakarta; Pustaka Pelajar, 2007)
[3]Budiono Hadi Sutrisno, Sejarah Walisongo Misi Pengislaman di Tanah Jawa, (GRHA Pustaka, 2007), hlm. 19
[4]Budiono Hadi Sutrisno, Sejarah Walisongo Misi Pengislaman di Tanah Jawa, (GRHA Pustaka, 2007), hlm. 22
[5] Agus Sunyoto, Atlas Walisongo, (Pustaka IIMaN, 2012),
hlm. 167
[6]Budiono Hadi Sutrisno, Sejarah Walisongo Misi Pengislaman di Tanah Jawa, (GRHA Pustaka, 2007), hlm. 176
[7] Agus Sunyoto, Atlas Walisongo, (Pustaka IIMaN, 2012),
hlm. 186
[8]Purwadi, Dakwah
Sunan Kalijaga, (Yogyakarta; Pustaka Pelajar, 2007) Hal. 26-27
Casino of Chance Casino Review 2021 - 나비효과.com
BalasHapusCasino of Chance Casino is licensed in Costa Rica 바카라 사이트 and หารายได้เสริม is one febcasino.com of the best casinos owned by the https://deccasino.com/review/merit-casino/ company. Players can get a great welcome bonus and Rating: 4.5 나비효과 · Review by Casino.in