Senin, 12 Desember 2016

POLA DAKWAH WALISONGO.sejarah dakwah



MAKALAH
POLA DAKWAH WALISONGO
Disusun Guna Untuk Memenuhi Tugas
Mata Kuliah  : Sejarah Dakwah
Dosen Pengampu : Agus Riyadi, S.Sos.I M.Si



 


Disusun Oleh :
Siti Ani Munasaroh                 (1501046002)


FAKULTAS DAKWAH DAN KOMUNIKASI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2016




BAB I
PENDAHULUAN
I.              Latar Belakang
Walisongo atau Walisanga dikenal sebagai penyebar agama Islam di tanah Jawa pada abad ke 14. Mereka tinggal di tiga wilayah penting pantai utara Pulau Jawa, yaitu Surabaya-Gresik-Lamongan-Tuban di Jawa Timur, Demak-Kudus-Muria di Jawa Tengah, dan Cirebon di Jawa Barat. Era Walisongo adalah era berakhirnya dominasi Hindu-Budha dalam budaya Nusantara untuk digantikan dengan kebudayaan Islam. Mereka adalah simbol penyebaran Islam di Indonesia, khususnya di Jawa. Tentu banyak tokoh lain yang juga berperan. Namun peranan mereka yang sangat besar dalam mendirikan Kerajaan Islam di Jawa, juga pengaruhnya terhadap kebudayaan masyarakat secara luas serta dakwah secara langsung, membuat para Walisongo ini lebih banyak disebut dibanding yang lain.
Dengan menggunakan pola dakwah yang dicetuskan oleh para wali untuk menyebarkan agama Islam yang kemudian dianut oleh sebagian besar masyarakat di Jawa, mulai dari perkotaan, pedesaan, pegunungan, sehingga Islam menjadi agama yang mengakar dikalangan masyarakat. Proses Islamisasi ditanah jawa pun berjalan dengan aman dan damai.hal ini dikarenakan para wali menggunakan pola dakwah yang sangat luar biasa, diantaranya menggunakan pendekatan kulturral yang sarat dengan simbol-simbol kebudayaan lokal masyarakat Jawa, seperti wayang dan gamelan. Akulturasi yang dilakukan oleh walisongo berhasil menyelaraskan agama yang ada ditanah Jawa. Untuk mengetahui keberhasilan yang dicapai oleh walisongo dalam berdakwah,dalam makalah ini akan membahas tentang makna dari walisongo itu sendiri, biografi para tokoh walisongo serta pola dakwah yang digunakan oleh walisongo dalam penyebaran agama Islam.
II.           Rumusan Masalah
a.         Apa makna dari walisongo?
b.        Bagaimana biografi tokoh dalam walisongo?
c.         Bagaimana gerakan dakwah yang dilakukan oleh walisongo?
d.        Bagaimana pola dakwah yang digunakan oleh walisongo untuk menyebarkan agama Islam?
BAB II
PEMBAHASAN
A.            Pengertian Walisongo
Menurut pemahaman yang berkembang dalam masyarakat Jawa, istilah Wali Songo atau sembilan wali, dikaitkan dengan sekelompok penyiar agama di Jawa yang hidup dalam kesucian sehingga memiliki kekuatan batin tinggi, berilmu kesaktian luar biasa, memiliki ilmu jaya kewijayan, dan keramat. Prof. K.H.R. Moh. Adnan berpendapat bahwa kata songo dalam kata Wali Songo merupakan perubahan atau kerancuan dari pengucapan kata sana, yang dipungut dari kata Arab tsana (mulia) yang searti dengan kata Mahmud (terpuji), sehingga pengucapan yang betul adalah Wali Sana yang berarti ‘wali-wali yang terpuji’. Pendapat Prof. K.H.R. Moh. Adnan ini tidak disepakati oleh Amen Budiman, yang dalam buku berjudul Wali Sanga Legenda dan Fakta Sejarah (1982) menegaskan bahwa kata Wali Songo bermakna ‘wali sembilan’, tidak ubahnya arti kata Jawa yang serupa seeperti, misal, Kembang Telon, yang berarti ‘serangkum bunga yang terdiri dari tiga jenis kembang: Kenanga, kantil, dan melati’. Didalam alam pemikiran masyarakat Jawa, angka sembilan memang mempunyai makna khusus, seperti tampak dalam pandangan orang Jawa Kuno mengenai klasifikasi alam dunia ini tidak ubahnya dengan angka delapan. Oleh karena itu, jika masyarakat Jawa sampai mempunyai konsep Wali Songo, lahirnya konsep itu tidaklah mengherankan dan sekaligus menunjukkan kepada kita bahwa yang dimaksud dengan songo dalam terminologi Wali Songo tidak lain adalah ‘sembilan’, bukan perubahan dari kata sana yang berasal dari perkataan Arab tsana yang berarti ‘yang terpuji’ sebagaimana dikemukakan Prof. K.H.R. Moh. Adnan.
R. Tanojo dalam kitab Walisana menandaskan bahwa istilah yang benar dari Wali Songo adalah Walisana. Namun, kata sana bukan berasal dari bahasa Arab tsana tetapi berasal dari bahasa Jawa kuno sana yang bermakna tempat, daerah, wilayah. Dengan penafsiran itu, maka yang dimaksud Walisana bermakna ‘wali disuatu tempat, daerah atau wali penguasa wilayah tertentu’. Dalam kapasitas sebagai penguasa wilayah tertentu, Walisana diberi sebutan sunan, susuhunan, sinuhun, dengan disertai sebutan kanjeng kependekan dari kata kang jumeneng, pangeran, sebutan yang lazim diterapkan bagi raja atau penguasa pemerintahan di Jawa. Menurut kitab Walisana, wali-wali yang disebut sebagai Walisana itu tidak berjumlah sembilan melainkan hanya delapan orang.
Sementara itu,  menurut Prof. Dr. Simuh (1986) bilangan sembilan merupakan bilangan magis di Jawa dan tidak berasal dari budaya santri. Pandangan Simuh ini, berkait erat dengan kosmologi orang Jawa beragama Hindu yang meyakini bahwa alam semesta ini di atur dan di lindungi oleh dewa-dewa penjaga mata angin. Ada delapan dewa penguasa mata angin dan satu dewa penguasa arah pusat, sehingga keseluruhannya berjumlah sembilan. Kosmologi yang sama juga di anut oleh orang Bali beragama Hindu dengan sedikit perbedaan pada nama dewa. Menurut R.Pitno dalam Warna Sari Sedjarah Indonesia Lama II (1969), sembilan dewa penguasa mata angin di Jawa sebagaimana dijumpai pada tertib kosmos pada Candi Lorodjonggrang meliputi: Kuwera (Utara), Isyana (Timur Laut), Indra (Timur), Agni (Tenggara), Kama (selatan), Surya (Barat Daya), Baruna (Barat), Bayu (Barat Laut), ditambah satu penjaga titik pusat, yaitu Syiwa.[1]
Bagi masyarakat muslim Indonesia, sebutan Wali Songo mempunyai makna khusus yang dihubungkan dengan tokoh-tokoh keramat di Jawa, yang berperan penting dalam usaha penyebaran dan perkembangan Islam pada abad ke-15 dan ke-16 Masehi. Menurut Solichin Salam dalam Sekitar Wali Songo, kata Wali Songo merupakan kata majemuk yang berasal dari kata Wali dan  Songo. Kata wali berasal dari bahasa Arab, suatu bentuk singkatan dari waliyullah, yang berarti ‘orang yang mencintai dan dicintai Allah’. Sedangkan kata songo berasal dari bahasa Jawa yang berarti ‘sembilan’. Jadi, Wali Songo Berarti ‘Wali Sembilan’, yaitu ‘sembilan orang yang mencintai dan dicintai Allah’. Mereka dipandang sebagai ketua kelompok dari sejumlah besar muballigh Islam yang bertugas mengadakan dakwah Islam di daerah-daerah yang belum mengenal Islam di Jawa.
Pendapat lain mengatakan bahwa Walisongo bukanlah berarti wali yang jumlahnya Sembilan (songo) saja sebagaimana yang diketahui oleh masyarakat Jawa. Akan tetapi Walisongo adalah sebuah nama bagi organisasi dakwah, dewan dakwah, dewan Muballigh, dewan ulama, majlis parawali, atau lembaga dakwah. Apabila dari salah seorang dari anggota dewan atau majelis tersebut pergi atau wafat, maka akan diganti wali yang lain. Oleh karena itu jumlah wali tetap Sembilan dalam setiap angkatan. sebagaimana padangan Asnan Wahyudi dan Abu Khalid,bahwa Walisongo adalah sebuah nama suatu lembaga bagi dewan dakwah atau dewan ulama, sedangkan kata Sembilan di identifikasikan sebagai struktur kepemimpinan dalam lembaga dakwah tersebut.[2]
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa istilah Walisongo yang lebih dekat dengan fakta sejarah adalah berasal dari kata Wali dan Songo, wali berarti orang yang beriman dan bertaqwa dan dekat dengan Allah SWT. Sedangkan songo adalah bilangan angka Sembilan dalam bahasa Jawa. Dengan demikian, walisongo adalah wali yang berjumlah Sembilan yang tergabung dalam sebuah lembaga dakwah, dewan ulama atau majelis wali. Setiap kali ada wali yang meninggal maka diangkatlah wali yang lain sebagai pengganti.
B.            Gerakan Dakwah Walisongo
Dalam konteks kesejahteraan, keberadaan Wali Songo di satu sisi berkaitan erat dengan kedatangan muslim asal Champa yang ditandai kemuculan tokoh sunan Ampel, sesepuh Wali Songo disisi lain, berkaitan juga dengan proses menguatnya kembali unsur-unsur budaya asli Nusantara dari Zaman prasejarah. Unsur-unsur budaya asli Nusantara dimaksud adalah anasir agama Kapitayan yang ditandai pemujaan terhadap To (roh penjaga) di Tu-k (mata air) Tu-ban (air terjun), Tu-rumbukan (pohon beringin), pemujaan daya sakti Tu di wa-Tu (batu), Tu-gu, Tu-nggul (panji-panji), Tu-lang, dan pemujaan serta penyembahan kepada Sangyang Taya di Tu-tuk (lubang) yang terdapat didalam sanggar, yang berjalin-berkelindan dengan pengaruh budaya Hindu-Budha dan tradisi keagamaan muslim Champa. Melalui prinsip dakwah yang kemudian oleh para ulama-peneliti disebut dengan “al-muhafadzah ‘alal qadimish shalih wal akhdu bil jadidil ashlah”, unsur-unsur budaya lokal yang beragam dianggap sesuai dengan sendi-sendi tauhid, diserap kedalam dakwah Islam.
Menurut Soekmono (1974) asimilasi dan sinkretisasi Islam yang dibawa oleh para penyebar Islam asal Champa dengan ajaran agama asli Nusantara, terjadi secara masif terutama dikalangan petani dipedesaan yang nyaris lebih mengenal pemujaan terhadap menhir lambang pelindung desanya dari pada pemujaan terhadap dewa-dewa Hindu-Budha. Masih menurut Soekmono (1959), yang menjadi dasar dan pokok kebudayaan Indonesia zaman madya adalah kebudayaan purba (Indonesia asli), tetapi telah di islamkan. Yang dimaksud kebudayaan purba dalam konteks itu adalah kebudayaan Malaio-Polinesia pra-Hindu oleh Prof. Dr. C.C Berg (1938) dan Prof. Dr. G.J. Held (1950) disebut animisme dan dinamisme, yaitu kebudayaan yang lahir dari kepercayaan masyarakat terhadap benda-benda yang di anggap memiliki “daya sakti” dan kepercayaan terhadap arwah leluhur. Yang dimaksud C.C Berg dan G.J. Held dengan kebudayaan Malaio-Polinesia pra-Hindu yang animis dan dinamisitu, tidak lain adalah agama asli Nusantara yang disebut Kapitayan. Proses islamisasi kebudayaan purba sebagaimana ditengarai soekmono adalah bukti berlangsungnya asimilasi sosiokultural-religius yang telah dilakukan para penyebar Islam generasi Wali Songo.
Sejarah mencatat, selama rentang waktu antara 1446-1471 M sebagian besar penduduk Champa beragama Islam berbondong-bondong mengungsi ke Nusantara. Rentang waktu itu, tepat berurutan dengan terjadinya proses islamisasi besar-besaran di Nusantara yang dikenal sebagai zaman awal Wali Songo. Dalam catatan historiorafi lokal di Cirebon, Banten, maupun Jawa, dituturkan bagaimana para ulama dan bangsawan asal Champa seperti Syaikh Hasanuddin Quro di karawang. Raja pandhita di Gresik, dan Sunan Ampel di Surabaya, dengan kebijaksanaan-kebijaksaan dakwahnya melalui jaringan kekeluargaan yang terkoordinasi dalam gerakan dakwah Wali Songo, menyampaikan ajaran Islam kepada masyarakat melalui pendekatan bersifat sosiokultural-religius lewat asimilasi dan sinkretisasi dengan adat budaya dan tradisi keagamaan yang ada di Nusantara. Asimilasi dan sinkretisasi Islam Champa dengan adat budaya dan tradisi keagamaan setempat di Nusantara itu kemungkinan terjadi, karena menurut data terbaru ilmu etnografi dan ilmu bahasa sebagaimana di ungkapkan Cabaton (1981) terdapat bukti kuat bahwa orang-orang Champa adalah serumpun dengan suku Melayu-Polinesia, berkerabat dengan orang Melayu, dan menggunakan bahasa Melayu.
Gerakan dakwah Wali Songo menunjuk pada usaha-usaha penyampaian dakwah Islam melalui cara-cara damai, terutama melalui prinsip maw’idzatul hasanah wa mujadalah billati hiya ahsan, yaitu metode penyampaian ajaran Islam melalui cara cara dan tutur bahasa yang baik. Dewasa itu, ajaran Islam dikemas oleh para ulama sebagai ajaran yang sederhana  dan dikaitkan dengan pemahaman masyarakat setempat atau Islam "dibumikan" sesuai adat budaya dan kepercayaan penduduk setempat lewat proses asimilasi dan sinkretisasi. Pelaksanaan dakwah dengan cara ini memang membutuhkan waktu lama, tetapi berlangsung secara damai. Menurut Thomas W. Arnold dalam The preaching of Islam (1977), tumbuh dan berkembangnya agama Islam secara damai ini lebih banyak merupakan hasil usaha para mubaligh penyebar Islam dibandingkan dengan hasil usaha para pemimpin negara.
C.           Biografi walisongo dan pola dakwah yang digunakan
1.      Sunan Gresik (Maulana Malik Ibrahim)
Maulana Malik Ibrahim atau lebih dikenal sebagai Sunan Gresik, lahir pada tahun 1350 M. Ada yang menyatakan bahwa ia adalah keturunan Zainal Abidin bin Hasan bin Ali bin Abi Thalib. Di samping itu, ada juga yang mengatakan bahwa ia berasal dari Gujarat dan merupakan pedagang yang datang ke Pulau Jawa kemudian menyebarkan ajaran Islam.
Sunan Gresik berasal dari daerah Maghribi, Afrika Utara. Beliau datang ke Indonesia pada zaman Majapahit tahun 1379 untuk syiar Islam, bersama Raja Cermin dan petra-putrinya. Raja Cermin adalah Raja Hindustan. Syekh Maghribi wafat tahun 1419M/882H.
Objek Dakwah Sunan Gresik adalah masyarakat yang memeluk agama Hindu atau Budha. Ia mendirikan pesantren di Gresik sebagai tempat belajar agama Islam. Ia wafat pada tanggal 12 Rabiul Awwal 822H (8 April 1419M) dan dimakamkan di pemakaman Gapura Wetan, Gresik, Jawa Timur.
Strategi dakwah yang dilakukan oleh Maulana Malik Ibrahim, yaitu :
Dengan cara menjauhi konfrontasi, beliau mulai meluncurkan dakwahnya, kepada masyarakat yang menganut agama Hindu, “agama resmi kerajaan Majapahit”. Beliau melakukan sesuatu yang sangat sederhana, yaitu membuka warung, beliau menjual berbagai macam makanan dengan harga murah, dalam waktu singkat, warungnya dikunjungi banyak orang, kemudian melangkah ketahap berikutnya yaitu, membuka praktek sebagai tabib,dengan doa-doa yang di ambil dari Al-Qur’an, beliau terbukti dapat menyembuhkan penyakit, sehingga seolah-olah beliau berubah menjadi “dewa penyelamat”, dan beliau tidak mau dibayar.
Dalam komunitas Hindu saat itu, beliau cepat dikenal, karena beliau sanggup menembus sekat-sekat kasta. Beliau memperlakukan semua orang sama derajatnya. Seiring berjalannya waktu, pengikutnya semakin bertambah, kemudian beliau mendirikan masjid.[3]
Kemudian, beliau ingin mendirikan tempat untuk menimba ilmu, yaitu pesantren. Dalam mengajarkan ilmunya, beliau mempunyai kebiasaan khas yaitu meletakkan Al-Qur’an, kitab Hadits atau kitab yang lain diletakkan diatas bantal, kemudian beliau mendapat julukan “Kakek Bantal”. Kendati pengikutnya terus bertambah, namun beliau belum puas sebelum mengislamkan Raja Majapahit yang saat itu masih beragama Hindu-Budha, beliau paham bahwa tradesi Jawa sarat dengan kultur ”patron-client”. Rakyat akan selalu merujuk dan bertela dan pada perilaku Raja. Karena itu mengislamkan Raja adalah pekerjaan yang sangat strategis. Dengan meminta bantuan Raja Cermin untuk menikahkah putrinya dengan penguasa Majapahit, namun sayangnya strategi ini gagal karena pada saat itu muncul wabah penyakit, sehingga banyak memakan korban.[4]
Menantu Raja Campa. Syekh Ibrahim Asmarakandi mencoba membujuk Raja Campa untuk masuk islam, akhirnya sang Raja mau menerima ajakan tersebut karena sudah banyak warga Campa yang masuk Islam. Beliau mempunyai tiga anak, anak yang pertama menikah dengan Prabu Brawijaya Majapahit, putri yang kedua menikah dengan Syekh Ibrahim Asmarakandi, dan lahirlah dua anak yaitu Raden Rahmat dan Raden Santri.
Pola dakwah yang dilakukan oleh Maulana Malik Ibrahim yaitu dengan cara bergaul dengan para remaja, dengan begitu beliau akan lebih mudah menyebarkan dakwahnya, karena dengan begitu beliau mengetahui karakter mad’unya sehingga dapat menentukan metode yang tepat untuk menyampaikan ajarannya. Dan Membuka pendidikan pesantren.
2.             Sunan Ampel (Raden Rahmat)
Sunan Ampel atau Raden Rahmat adalah putra Syech Maulana Malik Ibrahim dan Dewi Candra Wulan.Ia memulai dakwahnya dengan mendirikan pesantren di Ampel Denta,dekat surabaya.Murid-muridnya,antara lain Raden Paku (Sunan Giri) Sunan Bonang ,Sunan Drajat ,dan Maulana Ishak yang berdakwah di daerah Blambangan.
Sunan Ampel sangat berpengaruh di kalangan istana Majapahit,bahkan istrinya dari kalangan istana.Dengan demikian ,ia tidak mendapatkan hambatan yang berarti dalam berdakwah.Ia juga merupakan penyokong kesultanan Demak dan ikut mendirikan Masjid Agung Demak pada tahun 1497 Masehi bersama wali-wali lain.
Sunan Ampel menginginkan agar masyarakat menganut keyakinan yang murni.Sebaliknya ,sunan kalijaaga mengusulkan agar adat-istiadat jawa diberi warna islam.Sunan Ampel setuju,walaupun ia tetap menginginkan adat- istiadat tersebut di hilangkan ,karena bagian dari bid’ah.Ia wafat pada tahun 1481 Masehi di Ampel dan di makamkan di kompleks pemakaman Masjid Ampel,Surabaya.
Gerakan Dakwah Sunan Ampel
Dalam Sedjarah Dalem, disebutkan bahwa putri Arya Lembu Sura Menikah dengan penguasa Tuban, Arya Teja, dan menurunkan Bupati-bupati Tuban. Disebutkan putri Arya Lembu Sura yang lain yang bernama Retna Panjawi menikah dengan Prabu Brawijaya dari Majapahit. Lewat tokoh Prabu Brawijaya yang juga menikahi bibi Raden Rahmat, hubungan dengan Arya Lembu Sura terjalin. Itu sebabnya, setelah Prabu Brawijaya menyerahkan Raden Rahmat kepada penguasa Surabaya yang beragama Islam, dia tidak hanya mengangkatnya sebagai imam di Ampel, tetapi menikahkannya dengan Nyai Ageng Manila, putri penguasa Tuban, Arya Teja sekaligus dengan pengguasa Surabaya Arya Lembu Sura.
Lewat hubungan kekerabatan dengan penguasa Surabaya, Arya Lembu Sura itulah yang membawa Raden Rahmat berkedudukan sebagai Bupati, menggantikan kedudukannya. Dengan berkedudukan sebagai bupati yang berkuasa disuatu wilayah, gerakan dakwah yang dilakukan oleh Raden Rahmat lebih leluasa, terutama dalam usaha memperkuat jaringan kekerabatan dengan penguasa-penguasa wilayah lain. Didalam Babad Tanah Djawi dituturkan bagaimana dalam upaya memperkuat kekerabatan untukk tujuan dakwah, Raden Rahmat menikahkan Khalifah Usen (nama tempat di Rusia Selatan dekat Samarkand) dengan putri Arya Baribin, Adipati Madura.
Pengaruh Campa diwilayah dakwah Sunan Ampel
a.       Kebiasaan mentalqin orang mati, melakukan kenduri dan memperingati kematian pada hari ke-3, ke-7, ke-40, ke-100, dan ke-1000
b.      Perayaan 1 dan 10 syuro dengan penanda bubur syuro, larangan menyelenggarakan hajat pada bulan syuro
c.       Tradisi Rebo Wekasan atau Arba’a Akhir dibulan Safar
d.      Tradisi Nisfu Sya’ban, paham Wahdatul Wujud
e.       Memeriahkan Maulid Nabi SAW, pembacaan kasidah-kasidah memuji Nabi SAW dan ahlu bait, si’iran yang ditujukan kepada Ali bin Abi Thalib dan keturunannya dan membaca berbagai wirid
f.       Memanggil Ibunya dengan sebutan “mak”, kakak atau orang yang lebih tua “kak atau kang”, adik “adhy”, anak kecil laki-laki dengan sebutan “kachoa atau kachong”.[5]
3.      Sunan Bonang (Raden Maulana Makdum Ibrahim)
Sunan Bonang adalah putra Sunan Ampel dan Dewi Candrawati,sekaligus merupakan sepupu Sunan Kalijaga.Setelah belajar islam di Pasai(Aceh) ia kembali ke Tuban (Jawa Timur) untuk mendirikan pondok pesantren.Dalam berdakwah, Sunan Bonang menyesuaikan diri dengan corak kebudayaan masyarakat Jawa. Ia pun menyisipkan ajaran-ajaran Islam ke dalam cerita wayang dan musik gamelan.
Kegiatan dakwah sunan Bonang di pusatkan di Tuban dan menjadikan pesantren sebagai wadah pendidikan kader dakwah.Sunan Bonang memberikan pendidikan Islam secara mendala kepada murid-muridnya,termasuk Raden Fatah. Catatan-catatan pendidikannya di kenal dengan suluk Sunan Bonang yang berbentuk prosa jawa dan banyak di pengaruhi bahasa Arab. Sampai sekarang catatan itu masih tersimpan di Universitas Leiden, Belanda.Sunan Bonang wafat pada tahun 1525 Masehi dan di makamkan di Tuban. Nama lain Sunan Bonang yaitu Raden Makdum atau Maulana Makdum Ibrahim. Beliau mendapat julukan nama Prabu Nyokrokusumo. Beliau adalah putra Sunan Ampel dan Nyai Ageng Manila.
Dalam bidang sastra budayasumbangan beliau yaitu :
a.       Dakwah melalui perwayangan
b.      Membantu Raden Patah
c.       Ikut mendirikan masjid Demak
d.      Menyempurnakan instrumen Gamelan, terutama bonang, kenong dan kempul
e.       Suluk Wujil
f.       Tembang Macapat
Dakwah Sunan Bonang
Menurut Babad Daha-kediri, usaha awal yang dilakukan Sunan Bonang dipedalaman Kediri dengan pendekatan yang cenderung keras, tidak sekedar merusak acara yang disembah oleh penduduk setempat, bahkan sampai mengutuk warganya. Sehingga beliau menghadapi resistensi dari masyarakat baik berupa perdebatan atau konflik secara fisik.
Setelah dakwah tersebut kurang berhasil, dalam berdakwah beliau dikenal sering menggunakan wahana kesenian dan kebudayaan untuk menarik simpati masyarakat. salah satunya,dengan perangkat gamelan Jawa yang disebut Bonang. Pada masa lampau alat ini sering digunakan oleh aparat desa uuntuk mengumpulkan warga dalam pencapaian wara-wara pemerintah kepada penduduk.
Proram Dakwah yang dilakukan adalah :
a.       Pemberdayaan dan peningkatan jumlah dan mutu kader da’i, yaitu dengan mendirikan dan dakwah islam
b.      Memasukkan pengaruh Islam kedalam kalangan bangsawan keraton Majapahit. Sunan Bonanglah yang memberikan didikan Islam kepada Raden Patah, Sultan Demak pertama, dan putra bangsawan lainnya
c.       Terjun langsung ke tengah-tengah masyarakat. Dalam berinteraksi dengan masyarakat tersebut beliau menciptakan gending-gending atau tembang-tembang Jawa yang sarat dengan misi pendidikan dan dakwah Islam seperti Simon, Dandang Gulo, Pangkur, dan lain-lain. Selain itu, beliau juga mengganti nama-nama hari naas menurut kepercayaan Hindu dan nama dewa Hindu dengan nama-nama malaikat dan nabi menurut Islam
d.      Melakukan kodifikasi atau pembukuan dakwah. Kodifikasi pesan dakwah atau ajarannya dilakukan oleh para muridnya. Kitab itu ada yang berbentuk puisi maupun prosa, kita inilah yang kemudian dikenal dengan Suluk Sunan Bonang.
4.      Sunan Giri (Raden Paku)
Sunan Giri adalah salah satu dari Walisanga, yang bertugas menyiarkan agama Islam di kawasan Jawa Timur, tepatnya di daerah Gresik. Ayahnya bernama Maulana Iskak, bersal dari Pasai. Ibunya bernama Sekardhadhu, putri raja Blambangan, Prabu Minaksembuyu.
Menjelang dewasa Sunan Giri berguru kepada Sunan Ampel. Sunan Giri diberi gelar oleh Sunan Ampel dengan gelar Raden Paku. Bersama Makdum Ibrahim atau Sunan Bonang, Raden Paku pergi haji ke Mekkah. Disana Raden Paku berjumpa dengan ayahnya, Maulana Iskak yang sudah bergelar Syekh Awalul Islam. Sepulang dari Mekkah Raden Paku mendirikan Pesantren di Giri, Gresik, sehingga orang menyebutnya sebagai Sunan Giri. Dakwah Islamnya menggunakan jalur budaya, Sunan Giri menciptakan permainan jetungan, jamuran, gula ganti, cublak-cublak suweng, Tembang Asmarandana, Tembang Pucung. Sunan Giri wafat dalam usia 63 tahun pada awal pertengahan abad XVI Masehi dan dimakamkan di Bukit Gresik, Jawa Timur.
Sunan Giri adalah seorang da’i sekaligus ulama ulung yang dibekali pengetahuan Agama yang cukup memadai. Dalam syiar dakwah yang pertama kali dilakukan adalah dengan mendirikan masjid, kemudian beliau mendirikan beberapa pesantren dan mengajarkan ilmu-ilmu agama, seperti ilmu fikih, ilmu hadits, serta ilmu nahwu dan sharaf kepada anak didiknya.
Namun secara keseluruhan pola dakwah yang telah dikembangkan adalah :
i.        Membina kader da’i inti, yaitu mereka yang dididik dalam perguruan Giri.
ii.      Mengembangkan Islam keluar Jawa. Pola dakwah yang dilakukan wali-wali sebelumnya adalah usahanya mengirim anak dididiknya kepelosok Indonesia untuk menyiarkan Islam, misalnya pulau Madura, Bawean, bahkan sampai ke Ternate dan Huraku yakni kepulauan Maluku.
Menyelenggarakan pendidikan bagi masyarakat secara luas, yaitu dengan mewujudkan gamelan sekatan, kesenian wayang kulit yang sarat berisikan ajaran Islam, merintis permainan-permainan anak yang berisikan ajaran Islam, serta mengarang lagu-lagu Jawa yang disisipi ajaran Islam.
5.      Sunan Drajat (Raden Qasim)
Sunan Drajat adalah putra dari Sunan Ampel dan Dewi Candrawati. Beliau hidup pada zaman Majapahit akhir, sekitar tahun 1478M. Ia terkenal mempunyai jiwa sosial dan tema-tema dakwahnya selalu berorientasi pada gotong-royong. Ia selalu menolong orang-orang yang membutuhkan, mengasihi anak yatim, dan menyantuni fakir miskin.Ia wafat pada pertengahan abad XVI Masehi dan dimakamkan di Paciran, Lamongan, Jawa Timur. Dalam kehidupan sehari-harinya beliau dikenal sebagai waliyullah yang bersifat sosial, dimana dalam menjalankan aktivitas dakwahnyabeliau tidak segan-segan untuk menolong masyarakat bawah serta memperbaiki kehidupan sosialnya.
Setelah memberikan perhatian penuh, beliau baru memberikan pemahaman tentang Islam. Ajarannya lebih menekankan pada empati dan etos kerja keras berupa kedermawanan, pengentasan kemiskinan, usaha menciptakan kemakmuran, solidaritas sosial dan gotong royong. Dalam menyebarkan agama Isam beliau juga mengajarkan tata cara membangun rumah, membuat alat-alat yang digunakan orang untuk memikul orang seperti tandu dan joli.
Ajaran beliau dalam menyebarkan Islam terkenal dengan pepali pitu (tujuh dasar ajaran), yang mencakup tujuh falsafah yang dijadikan pijakan dalam kehidupan :
a.       Memangun resep tyasing sasama (kita selalu membuat senang hati orang lain)
b.      Jroning suku kudu eling lan waspodo (dalam suasana gembira hendaknya tetap ingat Tuhan dan selalu waspada)
c.       Laksitaning subrata tan nyipta marang pringga bayaning lampah (dalam upaya mencapai cita-cita luhur jangan menghiraukan rintangan dan halangan)
d.      Meper hardaning pancaindriya (senantiasa menekan gejolak hawan nafsu inderawi)
e.       Heneng-hening-henung (dalam diam akan dicapai keheningan dan didalam hening, akan mencapai jalan kebebasan mulia)
f.       Menehono teken marang wong kang wuto
Menehono mangan marang wong kang luwe
Menehono busana marang wong kang wudo
Menehono pangiyup marang wong kang kaudanan
(berikan tongkat kepada orang uta, berikan makan kepada orang lapar, berikan baju kepada orang yang tak memiliki pakaian, berikanlah tempat berteduh bagi orang yang kehujanan).
             Adapun pola dakwah yang digunakan yaitu :
a.       Mendirikan pusat-pusat bantuan yang diatur sedemikian rupa, sehingga memudahkan dalam pengaturan dan penyaluran bagi masyarakat yang membutuhkan
b.      Membuat kampung-kampung percontohan, kampung ini dipilih ditengah-tengah dengan tujuan agar menjadi pusat rujukan masyarakat dalam kehidupan sehari-hari dalam segala hal
c.       Menanamkan ajaran kolektivisme, yaitu ajaran untuk bergotong royong dimana yang kuat menolong yang lemah dan yang kaya menolong yang miskin
d.      Dibidang kesenian beliau menciptakan tembang-tembang jawa yaitu pungkur.
6.      Sunan Kalijaga
Kanjeng sunan kalijaga diakui masyarakat Jawa sebagai Guru Suci Ing Tanah Jawi. Mempunyai kemampuan dalam menyampaikan dakwah dengan cara yang penuh hikmah dan bijaksana,yakni berdakwah dengan tiga prinsip momong ,momor, dan momot, Momong maksudnya bersedia mengasuh,membimbing dan mengarahkan. Karena anak tidak pandai menguruskan diri sendiri,pihak pengsuh mestilah melayani keperluan sang anak hingga anak pandai mengurus dirinya sendiri. Momor maksudnya bersedia bergaul rapat,berkawan,bersahabat tanpa harus mempertimbangkan status sosial dan posisi masing-masing. Momot maksudnya bersedia menampung aspirasi dari berbagai lapisan masyarakat. Dengan cara berdakwah Sunan Kalijaga,islam berhasil dikembangkan sampai ke plosok Jawa. Salah seorang putra Sunan Kalijaga adalah Sunan Muria
Pola dakwah yang dikembangkan adalah :
a.       Mendirikan pusat pendidikan dikadilangu
b.      Berdakwah lewat kesenian. Diantaranya adalah tradisi selamatan peninggalan agama Hindu dan Budha didekati dengan cara Tahlil
c.       Memasukkan hikayat-hikayat Islam kedalam permainan Wayang. Dan beliau ini merupakan pencipta wayang kulit dan pengaruh buku-buku wayang yang mengandung cerita dramatis dan berjiwa Islam.
d.      Beliau menciptakan tembang-tembang yang termasyhur yaitu Kidung Rumeksa ing Wengi yang disampaikan dalam langgam dhandanggula dan ilir-ilir.
7.      Sunan Kudus (Ja’far Shadiq)
Sunan Kudus adalah putra dari Utsman Haji. Adapun Utsman Haji adalah orang yang menyebarkan agama Islam di Jipang Panolan, Blora. Sunan Kudus menyebarkan agama Islam di Kudus. Sunan Kudus wafat pada tahun 1550 Masehi dan dimakamkan di pemakaman Masjid Menara Kudus.
Beliau terkenal sebagai ulama besar yang menguasai ilmu Hadits, ilmu tafsir Al-Qur’an, ilmu sastra, mantik dan paling utama yaitu ilmu fikih.dengan ketinggian ilmunya itulah beliau mendapat julukan “Waliyul ilmi”yang artinya wali yang menjadi gudang ilmu. Disamping itu, beliau juga seorang pujangga besar dengan daya kreatifitasnya yang tinggi berinisiatif mengajarkan dongeng-dongeng pondok yang bersifat dan berjiwa seni Islam.
Pola dakwah yang dikembangkannya lebih bercorak pada bidang kesenian. Salah satu karya ciptanya yang terkenal adalah Gending Maskumbang dan Mijil. Dalam menarik simpati masa, beliau melebarkan diri dengan budaya setempat, sehingga lebih menarik dan merakyat, seperti yang dilakukan pada saat peringatan Maulid Nabi SAW, banyak warga yang berduyun-duyun menyaksikannya. Dan inilah yang dimanfaatkan untuk syiar dakwah Islam. Digapura masjid semua orang harus membaca dua kalimat syahadat terlebih dahulu sebelum memasukinya. Dan inilah yang disebut Syahadatain suatu ucapan dalam dakwahh Islam. Yang di Jawa Tengah dan Jawa Timur terkenal dengan istilah Sekaten.[6]
Dakwah Sunan Kudus
Sunan Kudus berusaha mendekati masyarakat untuk menyelami dan memahami apa yanng diharapkan, dan dalam hal dakwah langsung ke masyarakat itu, beliau banyak memanfaatkan jalur seni dan budaya beserta teknologi terapan yang bersifat tepat guna, yang dibutuhkan masyarakat. Dalam menjalankan dakwahnya mendapat tugas memberi bimbingan dan keteladanan kepada masyarakat yaitu beliau menyempurnakan alat-alat pertukangan yang berguna untuk bekerja, membuat keris pusaka dan sebagainya,menyempurnakan perkakas pande besi, perkakas untuk tukang emas, tampaknya mempengaruhi dalam arsitektur yang tengah berkembang di masyarakat kudus dan sekitarnya, yang sampai sekarang dikenal sebagai bangunan khas kudus, menyusun perundang-undangan yang bisa diterapkan sebagai produk hukum dipengadilan.[7]
8.      Sunan Muria (Raden Umar Said)
Sunan Muria adalah putra dari Sunan Kalijaga. Ia berdakwah di Gunung Muria dan di desa-desa terpencil lainnya. Objek dakwahnya adalah pedagang, nelayan, dan rakyat biasa. Ia juga menciptakan tembang yang berjudul Sinom dan Kinanti. Sunan Muria wafat pada abad XVI Masehi dan dimakamkan di Gunung Muria, Kudus. Nama lain dari Sunan Muria adalah Raden Prawoto dan Raden Umar Said. Beliau adalah putra Sunan Kalijaga dan Dewi Saroh. Dalam kesehariannya beliau mencerminkan pribadi yang menempatkan rasa cinta kepada Allah SWT, maka tak heran beliau adalah seorang sufi atau ahli tasawuf.
Seperti dengan wali-wali sebelumnya pola dakwah yang beliau kembangkan banyak yang sarat dengan agama Islam yang berbentuk seni, adapun pola dakwah yang dilakukan oleh Sunan Muria yaitu :
a.       Menjadikan daerah-daerah pelosok pegunungan sebagai pusat kegiatan dakwah
b.      Berdakwah melalui jalur kesenian, dengan menciptakan gending Sinom, Kinanti, dan sebagainya.
9.      Sunan Gunung Jati
Beliau dai lahirkan di daerah Pasai ,Aceh. Setelah menginjak dewasa beliau pergi ke Makkah untuk memperdalam ilmu agama selama tiga tahun. Waktu itu tahun 1511 bangsa Portugis sudah menguasai Malaka.Kemudian beliau merantau ke jawa,yaitu kerajaan Demak. Di Demak beliau diterima dengan tangan terbuka oleh sultan Trenggana yang memerintah antara tahun 1521-1546. Kepribadian Fatahillah semakin menarik Sultan Trenggana sehingga beliau dikawinkan dengan adiknya,putri Demak. Ekspansi Portugis kedaerah Jawa Barat kurang berkenan  di hati kerajaan Demak. Di bawah pimpinan Syarif Hidayatullah,Demak membendung Portugis di Jawa Barat. Pada tahun 1527 Sunda kelapa dapat di kendalikan Fatahillah dan memindahkannya ke Cirebon. Kerajaan Banten di perintah oleh putra Fatahillah,Sultan Hasanuddin. Fatahillah lantas tinggal di Cirebon untuk menyiarkann agama islam. Beliau wafat pada tahun 1570 di Gunung Jati. Oleh karena itu beliau lebih populer disebut sebagai Sunan Gunung Jati. Beliau merupakan salah satu peletak pondasi syiar Islam di daerah Jawa Barat. Demikianlah dakwah walisongo dalam menyebarkan agama isla di tanah jawa dengan menggunakan pendekatan kultural. Para wali itu berusaha memahami seluk beluk kebudayaan lokal sehingga syiar dakwahnya mudah diterima oleh kalangan yang sangat luas. Masyarakat Cirebon dan sekitarnya sangat menghormati Sunan Gunung Jati, bahkan sampai sekarang banyak penziarah yang mendatangi makamnya. Nama lain sunan gunung jati adalah Fatahillah, Falatehan, Syarif Hidayatullah, Syeikh Nuruddin Ibrahim Ibnu Maulana Ismail, Said kamil, dan Maulana Syekh Makdum Rahmatullah.[8]
Startegi metode pengembangan dakwah yang dilakukan beliau lebih terfokus pada job description atau pembagian tugas di antaranya adalah dengan melakukan:
a.       Melakukan pembinaan intern kesultanan dan rakyat yang masuk dalam wilayah Demak ditangan wali senior. Dengan program utamanya adalah masyarakat Jawa Timur dan Jawa Tengah harus segera di Islamkan karena mereka kekuatan pokok. Beliau mengorientasikan dakwahnya pada pertahanan di Jawa bagian Barat dan ekspansi asing
b.      Melakukan pembinaan terhadap luar daerah dengan menyerahkan tanggung jawabnya kepada pemuda.










BAB III
PENUTUP
I.                   Kesimpulan
Gerakan dakwah Wali Songo menunjuk pada usaha-usaha penyampaian dakwah Islam melalui cara-cara damai, terutama melalui prinsip maw’idzatul hasanah wa mujadalah billati hiya ahsan, yaitu metode penyampaian ajaran Islam melalui cara cara dan tutur bahasa yang baik. Dewasa itu, ajaran Islam dikemas oleh para ulama sebagai ajaran yang sederhana  dan dikaitkan dengan pemahaman masyarakat setempat atau Islam "dibumikan" sesuai adat budaya dan kepercayaan penduduk setempat lewat proses asimilasi dan sinkretisasi. Pelaksanaan dakwah dengan cara ini memang membutuhkan waktu lama, tetapi berlangsung secara damai. Menurut Thomas W. Arnold dalam The preaching of Islam (1977), tumbuh dan berkembangnya agama Islam secara damai ini lebih banyak merupakan hasil usaha para mubaligh penyebar Islam dibandingkan dengan hasil usaha para pemimpin negara. Walisongo memiliki strategi khusus dalam penyebaran agama Islam di tanah Jawa. Walisongo memiliki formasi 5 : 3 : 1 yaitu 5 di Jawa Timur, 3 di Jawa Tengah, dan 1 di Jawa Barat
II.                Kritik dan saran
Seperti itulah pemakalah menyampaikan syiar Islam di Indonesia khususnya di tanah Jawa, mereka menggunakan pola dakwah yang berbeda-beda yang disesuiakan dengan kondisi masyarakatnya. Dalam penyusunan makalah ini pastilah banyak kekurangan, sehingga pemakalah sangat berharap kritik serta saran yang membangun dari para pembaca demi kebaikan kami bersama.


DAFTAR PUSTAKA
Sunyoto Agus,  Atlas Walisongo, (Pustaka IMAN,2012)
Abdullah Rachmad, WALISONGO, Gelora dakwah dan Jihad di Tanah Jawa, (Al-Wafi, 2015)
Sutrisno Budiono H, Sejarah Walisongo Misi Pengislaman di Tanah  Jawa, (GRHA Pustaka, 2007)
Purwadi, Dakwah Sunan Kalijaga, (Yogyakarta; Pustaka Pelajar, 2007)


[1]Agus Sunyoto, Atlas Walisongo, (Pustaka IMAN,2012), hlm. 110
[2]Rachmad Abdullah, WALISONGO, Gelora dakwah dan Jihad di Tanah Jawa, (Al-Wafi, 2015), hlm. 70
[3]Budiono Hadi Sutrisno, Sejarah Walisongo Misi Pengislaman di Tanah  Jawa, (GRHA Pustaka, 2007), hlm. 19
[4]Budiono Hadi Sutrisno, Sejarah Walisongo Misi Pengislaman di Tanah  Jawa, (GRHA Pustaka, 2007), hlm. 22
[5] Agus Sunyoto, Atlas Walisongo, (Pustaka IIMaN, 2012), hlm. 167
[6]Budiono Hadi Sutrisno, Sejarah Walisongo Misi Pengislaman di Tanah  Jawa, (GRHA Pustaka, 2007), hlm. 176
[7] Agus Sunyoto, Atlas Walisongo, (Pustaka IIMaN, 2012), hlm. 186
[8]Purwadi, Dakwah Sunan Kalijaga, (Yogyakarta; Pustaka Pelajar, 2007) Hal. 26-27

1 komentar:

  1. Casino of Chance Casino Review 2021 - 나비효과.com
    Casino of Chance Casino is licensed in Costa Rica 바카라 사이트 and หารายได้เสริม is one febcasino.com of the best casinos owned by the https://deccasino.com/review/merit-casino/ company. Players can get a great welcome bonus and  Rating: 4.5 나비효과 · ‎Review by Casino.in

    BalasHapus