HUBUNGAN ANTARA IMAN, ISLAM DAN IHSAN SERTA PERAN TAUHID DALAM
KEHIDUPAN SOSIAL
MAKALAH
Disusun Guna Untuk Memenuhi Tugas
Mata Kuliah : Ilmu Tauhid
Dosen Pengampu : Drs. H. M.
Mudhofi, M.Ag
Disusun Oleh :
Siti Ani Munasaroh (1501046002)
PENGEMBANGAN MASYARAKAT ISLAM
FAKULTAS DAKWAH DAN KOMUNIKASI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2016
BAB I
PENDAHULUAN
I.
Latar Belakang
Islam, iman dan
ihsan adalah trilogi agama yang membentuk tiga dimensi keagamaan meliputi
syariah sebagai realitas hukum, thariqah sebagai jembatan menuju haqiqah yang
merupakan puncak kebenaran esensial. Ketiga adalah sisi yang tak bisa
dipisahkan dari keutuhan risalah yang dibawa oleh Rosululah SAW, yang
menghadirkan kesatuan aspek eksoterisme (lahir) dan esoterisme (batin). Tiga
dimensi ini (Islam, iman dan ihsan)masing-masing saling melengkapi satu sama
lain. Keislaman seseorang tidak akan sempurna tanpa mengintegrasikan keimanan
dan keihsanan. Ketiganya harus berjalan seimbang dalam perilaku dan penghayatan
keagamaan umat, seperti yang ditegaskan dalam firman Allah : hai orang-oramg
yang beriman, masuklah kamu kedalam Islam secara keseluruhannya. (QS. Al
Baqarah :208)
Dalam
pekembangan selanjutnya, kecenderungan ulama dalam menekuni dimensi keislaman,
melahirkan disiplin ilmu fiqih. Kecenderungan ulama dalam mebekuni ilmu
keimanan melahirkan ilmu tauhid. Dan kecenderunan ulama dalam dimensi keihsanan
melahirkan disiplin ilmu tasawuf. Aliran ahlussnnah mengakomodinir secara
integral tiga dimensi keagamaan tersebut sebagai doktrin dan ajaran
esensialnya. Karena praktik eksoterisme tanpa esoterisme adalah kemunafikan
sedangkan praktek esoterisme tanpa eksoterisme adalah klenik atau semata-mata
karena fomalitas. maka dari itu makalah ini akan membahas tentang hubungan
Islam, iman dan ihsan serta peran tauhid dalam kehidupan sosial.
II.
Rumusan Masalah
a.
Apa makna
antara Islam, Iman dan ihsan?
b.
Bagaimana
keterkaitan antara Islam, Iman dan ihsan?
c.
Bagaimana peran
tauhid dalam kehidupan sosial?
d. Bagaimana fungsi sosial tauhid dalam kehidupan muslim di
era modern?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Islam, Iman dan Ihsan
1.
Pengertian
Islam
Arti kata islam itu ialah “tunduk” dan patuh kepada
perintah orang yang memberi perintah dan kepada larangannya tanpa membantah”.
Agama kita telah diberi nama Islam, karena ia berarti taat kepada Allah dan
tunduk kepada perintah-Nya tanpa membantah. Islam adalah
agama yang mengajarkan agar manusia berserah diri dan tunduk sepenuhnya kepada
Allah.
Nabi Muhammad saw bersabda yang artinya :
Islam itu ialah engkau menyembah Allah (menghambakan diri kepada-Nya, Dia
sendiri saja), tiada engkau persekutukan Dia dengan suatu yang lain, engkau
dirikan sembahyang, engkau keluarkan zakat yang difardukan, engkau berpuasa
dibulan Ramadhan, dan engkau tunaikan ibadah haji jika engkau sanggup pergi ke
Baitullah. (H.R. Bukhari)
Ajaran islam memang harus diyakini kebenaranya. Allah swt. telah menjamin
kebenaran tersebut sebagaimana firman-Nya :
Sesungguhnya agama (yang diridhai) disisi Allah hanyalah Islam (Q.S.
Ali Imran : 19)
Segala sesuatu yang ada di dalam alam ini,
tunduk kepada suatu peraturan tertentu dan kepada undang-undang tertentu. Matahari,
bulan dan bintang-bintang semua tunduk kepada suatu peraturan yang tetap, tidak
dapat bergeser atau menyeleweng dari padanya meskipun seujung rambut. Doktrin
keislaman yang selanjutnya termanifestasikan kedalam bidang fiqih yang meliputi
hukum-hukum legal-formal (ubudiyah, mu’amalah, munakahah, jinayah, siyasah daln
lain-lain). [1]
2. Pengertian Iman
Iman berarti percaya, rukun iman itu ada enam, yaitu percaya kepada Allah,
kepada Malaikat-malaikat-Nya, kepada Kitab-kitab-Nya, kepada Rasu-rasul-Nya, kepada
Hari Akhir/Akhirat dan percaya kepada qadha dan qadar dari Allah. Menurut Imam
Al Ghazali, yang dimaksud dengan pokok agama (iman) adalah sebagai berikut:
1. Iman kepada Allah
yang Maha Esa.
2. Iman kepada
utusan-utusan-Nya.
3. Iman kepada Hari
Akhirat.
Iman kepada Allah ialah kepercayaan yang
mutlak mengakui adanya Allah yang telah mengutus Utusan-utusan-Nya. Dalam
kepercayaan ini harus mengandung tiga unsur, yaitu:
1. Diikrarkan/dinyatakan
dengan lisan.
2. Mengakui kebenaran
di dalam hati, dan
3. Dilaksanakan dengan
perbuatan anggota badan.
Iman adalah kepercayaan yang meresap ke
dalam hati dengan penuh keyakinan, tidak bercampur ragu, serta memberi pengaruh
bagi pandangan hidup, tingkah laku dan perbuatan pemiliknya sehari-hari (Yusuf
Qardlawi, 1977:25). Iman terletak didalam hati sanubari. Iman adalah
segala yang dibenarkan dalam hati, diucapkan dengan lisan dan diamalkan
itu sudah barang tentu adalah seluruh ajaran islam. Jika seseorang sudah
mengimani sluruh ajaran islam, maka orang tersebut sudah dapat dikatakan
mukmin. Iman itu terdiri atas tiga tingkatan :
1. Tingkatan mengenal.
Pada tingkatan pertama ini seseorang baru mengenal sesuatu yang diimani.
2. Tingkat kesadaran.
Pada tingkat kedua ini iman seseorang sudah lebih tinggi, karena sesuatu yang
diimani disadari oeh alasan-alasan tertentu. Tingkat haqqul yaqin.
3. Tingkat ini adalah
tingkatan iman yang tertinggi. Sseorang mengimani sesuatu tidak hanya
mengetahui dengan alasan-alasan tertentu, tetapi dibarengi dengan ketaatan dan
berserah diri kepada Allah
Hal yang paling pokok dalam iman ialah percaya kepada Allah Yang Maha Esa
dan percaya kepada para Utusan-Nya yang membawa ajaran-ajaran, wahyu dan berita
dari Allah. Ini tercermin dalam lafaz syahadat yang pertama harus diucapkan
atau dinyatakan oleh seseorang yang masuk Islam.Hal ini pun sesuai dengan
Firman Allah yang artinya sebagai berikut:
$yJ¯RÎ) šcqãYÏB÷sßJø9$# tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä «!$$Î/ ¾Ï&Î!qß™u‘ur §NèO öNs9 (#qç/$s?ötƒ (#r߉yg»y_ur öNÎgÏ9ºuqøBr'Î/ óOÎgÅ¡àÿRr&ur ’Îû È@‹Î6y™ «!$# 4 y7Í´¯»s9'ré& ãNèd šcqè%ω»¢Á9$# ÇÊÎÈ
Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu hanyalah orang-orang yang percaya
(beriman) kepada Allah dan Rasul-Nya, Kemudian mereka tidak ragu-ragu dan
mereka berjuang (berjihad) dengan harta dan jiwa mereka pada jalan Allah.
Mereka Itulah orang-orang yang benar (QS. Al Hujuraat: 15).
Kaum Asy’ariah mempercayai iman itu berarti pembenaran (tashdiq) terhadap
Allah SWT.menurut keyakinan mereka bahwa akal manusia tidak bisa sampai kepada
kewajiban mengetahui Tuhan, iman bukan merupakan ma’rifah atau amal. Manusia
dapat mengetahui kewajiban itu dari wahyu. Wahyu yang menerangkan kepada
manusia, bahwa ia berkewajiban mengetahui tentang Tuhan, dan manusia harus
menerima kebenaran berita ini.
Kaum Maturidiyah golongan Bukhara mempunyai faham yang sama menegenai
konsep iman dengan kaum Asy’ariah. Sejalan dengan pendapat mereka bahwa akal
tidak dapat sampai kepada kewajiban mengetahui adanya Tuhan. Batasan yang
diberika Bazdawi tentang iman adalah menerima dalam hati dengan lidah bahwa
tidak ada Tuhan selain Allah dan bahwa tidak ada yang serupa dengan-Dia.
Bagi golongan Samarkand, iman mestilah lebih dari tasdiq, karena
bagi mereka akal dapat sampai kepada kewajiban mengetahui Tuhan. Al Maturidi
mengatakan bahwa Islam adalah mengetahui Tuhan dengan tidak bertanya bagaimana
bentuk-Nya, iman adalah mengetahui Tuhan dalam ketuhanan-Nya. Ma’rifah
adalah menegetahui Tuhan dengan segala sifat-Nya, sedang tauhid adalah
mengenal Tuhan dalam Keesaan-Nya. [2]
3.
Pengertian Ihsan
Kata Ihsan
artinya berbuat baik adalah kebalikan dari kata isa’ah yang artinya
berbuat buruk. Ihsan adalah berbakti dan mengabdikan diri kepada Allah swt. Dengan dilandasi
kesadaran dan keikhlasan. Berbakti kepada Allah yakni berbuat sesuatu yang
bermanfaat, baik untuk diri sendiri, sesama manusia, maupun untuk makhluk lain.
Semua perbuatan itu dilakukan semata-mata karena Allah swt, seolah-olah orang
yang melakukan perbuatan itu sedang berhadapan dengan Allah. Selain itu Ihsan juga diartikan sebagai
suatu tindakan seseorang untuk melakukan amar ma’ruf nahi munkar.
Ihsan ada empat macam, yaitu :
1. Ihsan terhadap
Allah, yakni menjalankan segala perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya
2. Ihsan terhadap diri sendiri, yakni
mengerjakan segala sesuatu yang mendatangkan kebaikan bagi diri sndiri dan
menghindari semua perbuatan yang mendatangkan kecelakaan atau kerugian kepada
diri sendiri
3. Ihsan terhadap
sesama manusia, yakni berbuat baik kepada saudara, tetangga, kerabat, maupun
seagama
4. Ihsan terhadap
makhluk lain (alam lingkungan), yakni berbuat baik atau memelihara alam
lingkungan agar tetap lestari dan tidak punah.
Iman yang kuat, akan mengokohkan islam yang ada dijiwa dan akan melahirkan
perbuatan ihsan yang langsung terpancar dari Nur Ilahi.[3]
B. Hubungan Islam, Iman dan Ihsan
Hubungan iman, islam, dan
ihsan bagaikan segitiga sama sisi. Hubungan antara sisi yang satu dengan sisi
yang lainnya sangat erat. Jadi orang yang taqwa ibarat segitiga sama sisi, yang
sisi-sisinya adalah iman, islam, dan ihsan. Segitiga tersebut tidak akan
terbentuk jika ketiga sisinya tidak saling mengait.
Iman itu membentuk jiwa dan watak manusia menjadi kuat dan positif, yang
akan mengejawantah dan diwujudkan dalam bentuk perbuatan dan tingkah laku
akhlakiah manusia sehari-hari adalah didasari/diwarnai oleh apa yang
dipercayainya. Kalau kepercayaannya benar dan baik pula perbuatannya, dan
begitu pula sebaliknya. Iman yang tertanam di dada memberi inspirasi positif
kepada seseorang untuk berlaku dan beramal shaleh. Iman yang benar membawa
pribadi ke arah perubahan jiwa dan cara berpikir positif. Perubahan jiwa
tersebut merupakan suatu revolusi dan pembeharuan tentang tujuan hidup,
pandangan hidup, cita-cita, keinginan-keinginan dan kebiasaan (Yusuf Qadlawi,
1977: 251).
Melakukan pembaruan jiwa, mengubah pandangan dan
semangat adalah hal yang berat dan sulit, karena di dalam diri manusia terdapat
berbagai keadaan dan sifat. Nafsu dan syahwat adalah dua kekuatan yang cendrung
mendorong ke arah perbuatan negatif, menyimpang dari akal sehat dan syari’at
agama. Al-Qur’an membenarkan hal itu. Keimanan kepada keesaan Allah itu
merupakan hubungan yang semulia-mulianya antara manusia dengan penciptanya.
Oleh karena itu, mendapatkan petunjuk sehingga menjadi orang yang beriman,
adalah kenikmatan terbesar yang dimiliki oleh seseorang. Keimanan itu
bukanlah semata-mata ucapan yang keluar dari bibir dan lidah saja atau semacam
keyakinan dalam hati saja. Tetapi keimanan yang sebenar-benarnya adalah
merupakan suatu akidah atau kepercayaan yang memenuhi seluruh isi hati nurani,
dari situ timbul bekas-bekas atau kesan-kesannya, seperti cahaya yang
disorotkan oleh matahari.
Salah satu kesan dari iman ialah apabila Allah dan
Rasul-Nya dirasakan lebih dicintai olehnya dari segala sesuatu yang ada. Hal
ini wajib ditampakkan, baik dalam ucapan, perbuatan dan segala gerak-geriknya
dalam pergaulan maupun sewaktu sendirian. Dalam Al Qur’an, iman itu selalu
dikaitkan dengan amal perbuatan baik sebagai syarat bahwa iman yang
disempurnakan dengan amal baik berupa pelaksanaan rukun-rukun Islam, akan
menyebabkan manusia hidup berbahagia di dunia dan di akhiratnya. Di
antaranya dalam Al Qur’an Allah berfirman yang artinya sebagai berikut:
¨bÎ) tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä (#qè=ÏHxåur ÏM»ysÎ=»¢Á9$# ôMtR%x. öNçlm; àM»¨Zy_ Ĩ÷ryŠöÏÿø9$# »wâ“çR ÇÊÉÐÈ tûïÏ$Î#»yz $pkŽÏù Ÿw tbqäóö7tƒ $pk÷]tã ZwuqÏm ÇÊÉÑÈ
Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan beramal saleh,
bagi mereka adalah surga Firdaus menjadi tempat tinggal, Mereka kekal di
dalamnya, mereka tidak ingin berpindah dari padanya (QS. Al kahfi: 107-108)
Dari ayat ini nampak jelas bahwa iman yang dapat membawa ke arah kebahagian
adalah yang disertai dengan amal perbuatan yang baik.
Iman adalah landasan tempat berpijak atau sebagai tali
yang menjadi tempat bergantungnya dalam kehidupan ini. Lebih jelas lagi adalah
ibarat yang diberikan oleh S. Abul ‘Ala Al Maududi tentang iman, bahwa iman itu
laksana/ibarat urat (akar) dalam kehidupan tumbuh-tumbuhan. Dia menyatakan:
“Hubungan antara Islam dengan iman adalah laksana hubungan antara pohon dengan
uratnya, demikian pulalah, mustahil seseorang bisa menjadi muslim tanpa
mempunyai iman.
Disamping adanya hubungan
antara iman, islam, dan ihsan, juga terdapat perbedaan antara ketiganya
sekaligus merupakan ciri masing-masing. Iman lebih menekankan pada segi
keyakinan didalam hati, islam merupakan sikap untuk berbuat atau beramal.
Sedangka ihsan merupakan pernyataan dalam bentuk tindakan nyata. Ihsan
merupakan ukuran tipis tebalnya iman dan islam seseorang.[4]
C. Peran dan Fungsi Tauhid dalam Kehidupa
Sosial
Tauhid menempati kedudukan sentral dan esensial dalam
islam, tauhid berarti komitmen manusia kepada Allah sebagai fokus dari seluruh
rasa hormat, rasa syukur, dan sebagai satu-satunya sumber nilai dalam islam. Manusia yang bertauhid mengemban tugas untuk membersihkan manusia dari
menyembah manusia, hewan, tumbuhan, matahari, berhala, dan lain-lain kepada
menyembah Allah SWT. Dengan tauhid, kedudukan manusia sama manusia
yang lain, yang membedakan manusia dihadapan Allah SWT adalah tingkat ketaqwaannya (QS. Al Hujurat: 13)
Hubungan
manusia tidak hanya dengan tuhannya, tetapi juga mencakup hubungan horisontal
dengan sesamanya. Maka dari itu tauhid juga memiliki fungsi membentuk suatu
masyarakat yang mengejar nilai-nilai utama dan mengusahakan tegaknya nilai
keadilan sosial sehingga memberikan insipirasi pada manusia untuk mengubah
dunia disekelilingnya agar sesuai dengan kehendak alloh. Hal ini akan memicu
manusia untuk membentuk suatu misi yang bertujuan mengubah dunia, menegakkan
kebenaran, dan keadilan, merealisasikan berbagai nilai-nilai utama dan
memberantas kerusakan dimuka bumi. Dengan misi ini akan terwujud kehidupan
sosial yang adil, etis, dan agamis.
Dalam konteks pengembangan umat, tauhid berfungsi mentransformasikan setiap
individu yang meyakininya menjadi manusia yang lebih ideal dalam arti memiliki
sifat-sifat mulia yang membebaskan dirinya dari setiap belenggu sosial,
politik, ekonomi, dan budaya.
1.
Memiliki komitmen utuh pada Tuhannya. Ia akan berusaha secara maksimal
untuk menjalankan pesan dan perintah Allah sesuai dengan kadar kemampuannya.
2.
Menolak pedoman hidup yang datang bukan dari Allah.
3.
Bersikap progresif dengan selalu melakukan penilaian terhadap kualitas
kehidupannya, adat istiadatnya, tradisi dan paham hidupnya.
4.
Tujuan hidupnya amat jelas. Ibadahnya, kerja kerasnya, hidup dan matinya
hanya untuk Allah semata. Ia tidak akan terjerat ke dalam nilai-nilai palsu
atau hal-hal tanpa nilai sehingga tidak pernah mengejar kekayaan, kekuasaan dan
kesenangan hidup sebagai tujuan. Sebaliknya, hal-hal tersebut hanyalah sebagai
sarana mencapai keridlaan Allah.
5.
Memiliki visi yang jelas tentang kehidupan yang harus dibangunnya bersama
manusia lain , suatu kehidupan yang harmonis antara manusia dan Tuhannya.
D.
Fungsi- fungsi sosial tauhid dalam kehidupan muslim di era modern
1. Membebaskan manusia dari perbudakan mental dan
penyembahan kepada semua makhluk.
Sampai sekarang masih banyak manusia, termasuk
umat muslim yang cenderung mengikuti tradisi dan keyakinan nenek moyangnya.
Tidak hanya itu, mereka juga banyak yang menyerah dan tunduk begitu saja kepada
para pemimpin mereka, tanpa daya fikirr kritis serta keberanian untuk
mengkritik. Padahal Al- Qur’an telah mengingatkan bahwa orang- orang yang tidak
bersikap kritis terhadap para pemimpin mereka akan kecewa dan mengeluh di hari
akhir.
Firman Allah SWT SWT :
tPöqtƒ Ü=¯=s)è? öNßgèdqã_ãr ’Îû Í‘$¨Z9$# tbqä9qà)tƒ !$uZoKø‹n=»tƒ $oY÷èsÛr& ©!$# $uZ÷èsÛr&ur hwqß™§9$# ÇÏÏÈ (#qä9$s%ur !$oY/u‘ !$¯RÎ) $uZ÷èsÛr& $uZs?yŠ$y™ $tRuä!#uŽy9ä.ur $tRq=|Êr'sù gŸx‹Î6¡¡9$# ÇÏÐÈ
“Pada hari ketika muka
mereka dibolak-balikan dalam neraka, mereka berkata: "Alangkah baiknya,
andaikata kami taat kepada Allah dan taat (pula) kepada Rasul Dan mereka berkata: "Ya Tuhan kami, sesungguhnya kami telah mentaati
pemimpin-pemimpin dan pembesar-pembesar kami, lalu mereka menyesatkan kami dari
jalan (yang benar). ".( QS. Al- Ahzaab : 66-67).
Fungsi ini dirujukkan pada kalimat “LailaahaillAllah SWT” ( tidak
ada Tuhan selain Allah). Kalimat ini merupakan kalimat pembebasan bagi
manusia. Dengan mengucapkan “ tidak ada Tuhan selain Allah” berarti
seorang muslim telah memutlakkan Allah SWT Yang Maha Esa sebagai Kholiq, maka
umat muslim mengemban tugas untuk melaksanakan “ tahrirunnasi min
‘ibadatil ‘ibad ila ‘ibadatillahi ” atau membebaskan
manusia dari menyembah sesama manusia kepada menyembah Allah SWT semata.
3.
Menjaga manusia dari nilai- nilai palsu yang bersumber pada hawa nafsu,
gila kekuasaan, dan kesenangan- kesenangan sensual belaka.
Suatu kehidupan yang didedikasikan pada
kelezatan sensual, kekuasaan, dan penumpukan kekayaan dapat mengeruhkan akal
sehat dan menghilangkan pikiran jernih. Sebenarnya telah dengan tajam Al-
Qur’an menyindir orang-orang seperti ini.
|M÷ƒuäu‘r& Ç`tB x‹sƒªB$# ¼çmyg»s9Î) çm1uqyd |MRr'sùr& ãbqä3s? Ïmø‹n=tã ¸x‹Å2ur ÇÍÌÈ ÷Pr& Ü=|¡øtrB ¨br& öNèduŽsYò2r& šcqãèyJó¡o„ ÷rr& šcqè=É)÷ètƒ 4 ÷bÎ) öNèd žwÎ) ÄN»yè÷RF{$%x. ( ö@t/ öNèd ‘@|Êr& ¸x‹Î6y™ ÇÍÍÈ
“Terangkanlah kepadaku
tentang orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya. Maka apakah kamu
dapat menjadi pemelihara atasnya? atau apakah kamu
mengira bahwa kebanyakan mereka itu mendengar atau memahami. Mereka itu tidak
lain, hanyalah seperti binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat jalannya
(dari binatang ternak itu)”.( QS. Al- Furqon : 43-44)
4.
Sebagai frame of thought dalam perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi.
Maksudnya ialah bahwa
tauhid menjadi kerangka pemikiran dalam menemukan hakikat kebenaran mengenai
segala yang ada di alam semesta ini pada seginya yang abstrak, potensial,
maupun yang konkret. Sehingga manusia tidak melampaui batas dalam pemahaman
suatu keilmuan yang membuat dirinya lalai dan merasa benar hingga akhirnya
membawa mereka kepada kesombongan yang pasti berakhir dengan kehancuran. Contoh
Hitler dengan tentara Nazinya, dengan ilmunya Hitler merasa bahwa gagasan yang
dia miliki mampu membawa umat manusia menuju peradaban yang lebih maju, namun
karena ilmu tersebut tidak dilandasi dengan Aqidah, maka yang terjadi adalah
kehancuran rezim yang dimilikinya.
5.
Sebagai pondasi
keimanan yang juga menjamin kebahagiaan dan kesejahteraan hidup seluruh umat
manusia, ketika seluruh ajaran- ajarannya dilaksanakan secara konsisten.
Dengan menjadikan tauhid sebagai pegangan dalam hidup, serta merealisasikan
perintah yang ada, maka akan terwujud suatu kebahagiaan serta kedamaian hidup
yang tak terhingga. Karena telah di tancapkan dalam hati bahwa tidak ada yang
memiliki kekuatan maupun kekuasaan selain Ilahirabbi.
6.
Mengajarkan kepada umat islam supaya menjadikan Allah SWT sebagai pusat
kesadaran intelektual mereka.
Dengan kata lain, kita
meyakini bahwa semua aktivitas yang kita lakukan maupun kejadian yang terjadi
merupakan atas kehendak Allah SWT, semua itu telah diatur dengan sempurna
oleh-Nya. Karena Dia lah pemilik seluruh isi alam ini, Dia mengetahui segala
hal yang ghoib ( abstrak) maupun yang dzohir, yang tersembunyi maupun yang
tampak, Dia lah Tuhan yang patut untuk disembah dan tiada Tuhan selain Dia.
Dengan demikina akan terwujud keyakinan yang kukuh dan konsekuen, sehingga
tidak mudah terombang ambing oleh perkembangan zaman dan tidak terpenaruh
keyakinan yang menyesatkan.
Dengan Tauhid, manusia tidak saja akan bebas dan
merdeka, tetapi juga akan sadar bahwa kedudukannya sama dengan manusia manapun.
Tidak ada manusia yang lebih superior atau inferior terhadap manusia lainnya.
Setiap manusia adalah hamba Allah yang berstatus sama. Jika tidak ada manusia
yang lebih tinggi atau lebih rendah daripada mnusia lainnya di hadapan Allah,
maka juga tidak ada kolektivitas manusia, baik sebagai suatu suku bangsa
ataupun suatu bangsa, yang lebih tinggi atau lebih rendah daripada suku bangsa
atau bangsa lainnya. Semuanya berkedudukan sama di hadapan Allah SWT. Yang
membedakan hanyalah tingkat ketakwaan pada Allah SWT.[5]
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Hubungan iman,
islam, dan ihsan bagaikan segitiga sama sisi. Hubungan antara sisi yang satu
dengan sisi yang lainnya sangat erat. Jadi orang yang taqwa ibarat segitiga
sama sisi, yang sisi-sisinya adalah iman, islam, dan ihsan. Segitiga tersebut
tidak akan terbentuk jika ketiga sisinya tidak saling mengait.
Disamping adanya
hubungan antara iman, islam, dan ihsan, juga terdapat perbedaan antara
ketiganya sekaligus merupakan ciri masing-masing. Iman lebih menekankan pada
segi keyakinan didalam hati, islam merupakan sikap untuk berbuat atau beramal.
Sedangka ihsan merupakan pernyataan dalam bentuk tindakan nyata. Ihsan
merupakan ukuran tipis tebalnya iman dan islam seseorang.
Dari
pembahasan di atas dapat juga diketahui bahwa Tauhid mempunyai berbagai macam
fungsi dan peran yang dapat memberikan dampak positif bagi kehidupan sosial
yakni membebaskan manusia dari perbudakan mental dan penyembahan kepada semua
makhluk, menjaga manusia dari nilai- nilai palsu yang bersumber pada hawa
nafsu, gila kekuasaan, dan kesenangan- kesenangan sensual belaka, Sebagai frame
of thought dalam perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, sebagai
pondasi keimanan yang juga menjamin kebahagiaan dan kesejahteraan hidup seluruh
umat manusia, ketika seluruh ajaran- ajarannya dilaksanakan secara konsisten,
Mengajarkan kepada umat islam supaya menjadikan Allah SWT sebagai pusat
kesadaran intelektual mereka. Maka jelaslah bahwa tauhid erat hubunganya dengan
kehidupan sosial karena dengan ber tauhid manusia dapat mengetahui tujuan hidup
mereka yaitu beribadah kepada Allah Subhanahu Wata’ala secara vertical yaitu
langsung kepada Allah dengan ibadah makdoh dan Horizontal
yaitu beribadah dengan sesama makhluk Allah dengan ibadah ghoirumakdoh.
DAFTAR
PUSTAKA
Nasution ,
Harun, Teologi Islam:Aliran-aliran dan sejarah analisa perbandingan. (
Jakarta: UI-Press,2002)
Muhammad
bin Shalih Al-Utsaimin, Mengenal Allah, Rosul dan Dinul Islam. (Solo
:Al-Qowam, 2005)
Sayyid, Nur
S.K. Sejarah Theologi Dan Akal Pemikiran ASWAJA.(YOGYAKARTA : PUSTAKA
PELAJAR 2014)
http://taman-pengetahuan.blogspot.com (diunduh pada: Selasa, 17 Mei 2016)
[1] Nur
Sayyid S.K. Sejarah Theologi Dan Akal Pemikiran ASWAJA.(YOGYAKARTA :
PUSTAKA PELAJAR 2014) hlm 211
[2] Harun
Nasution, Teologi Islam:Aliran-aliran dan sejarah analisa perbandingan. (
Jakarta: UI-Press,2002) hlm 147-149
[3] Muhammad
bin Shalih Al-Utsaimin, Mengenal Allah, Rosul dan Dinul Islam. (Solo
:Al-Qowam, 2005) hlm 215
[4]
http://taman-pengetahuan.blogspot.com
(diunduh pada: Selasa, 17 Mei 2016)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar