Senin, 12 Desember 2016

HUBUNGAN ANTARA IMAN, ISLAM DAN IHSAN SERTA PERAN TAUHID DALAM KEHIDUPAN SOSIAL




HUBUNGAN ANTARA IMAN, ISLAM DAN IHSAN SERTA PERAN TAUHID DALAM KEHIDUPAN SOSIAL
MAKALAH
Disusun Guna Untuk Memenuhi Tugas
Mata Kuliah  : Ilmu Tauhid
Dosen Pengampu : Drs. H. M. Mudhofi, M.Ag



  


 


Disusun Oleh :
Siti Ani Munasaroh               (1501046002)


PENGEMBANGAN MASYARAKAT ISLAM
FAKULTAS DAKWAH DAN KOMUNIKASI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2016
BAB I
PENDAHULUAN
I.                   Latar Belakang
Islam, iman dan ihsan adalah trilogi agama yang membentuk tiga dimensi keagamaan meliputi syariah sebagai realitas hukum, thariqah sebagai jembatan menuju haqiqah yang merupakan puncak kebenaran esensial. Ketiga adalah sisi yang tak bisa dipisahkan dari keutuhan risalah yang dibawa oleh Rosululah SAW, yang menghadirkan kesatuan aspek eksoterisme (lahir) dan esoterisme (batin). Tiga dimensi ini (Islam, iman dan ihsan)masing-masing saling melengkapi satu sama lain. Keislaman seseorang tidak akan sempurna tanpa mengintegrasikan keimanan dan keihsanan. Ketiganya harus berjalan seimbang dalam perilaku dan penghayatan keagamaan umat, seperti yang ditegaskan dalam firman Allah : hai orang-oramg yang beriman, masuklah kamu kedalam Islam secara keseluruhannya. (QS. Al Baqarah :208)
Dalam pekembangan selanjutnya, kecenderungan ulama dalam menekuni dimensi keislaman, melahirkan disiplin ilmu fiqih. Kecenderungan ulama dalam mebekuni ilmu keimanan melahirkan ilmu tauhid. Dan kecenderunan ulama dalam dimensi keihsanan melahirkan disiplin ilmu tasawuf. Aliran ahlussnnah mengakomodinir secara integral tiga dimensi keagamaan tersebut sebagai doktrin dan ajaran esensialnya. Karena praktik eksoterisme tanpa esoterisme adalah kemunafikan sedangkan praktek esoterisme tanpa eksoterisme adalah klenik atau semata-mata karena fomalitas. maka dari itu makalah ini akan membahas tentang hubungan Islam, iman dan ihsan serta peran tauhid dalam kehidupan sosial.
II.                Rumusan Masalah
a.       Apa makna antara Islam, Iman dan ihsan?
b.      Bagaimana keterkaitan antara Islam, Iman dan ihsan?
c.       Bagaimana peran tauhid dalam kehidupan sosial?
d.     Bagaimana fungsi sosial tauhid dalam kehidupan muslim di era modern?
BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Islam, Iman dan Ihsan
1.      Pengertian Islam
Arti kata islam itu ialah “tunduk” dan patuh kepada perintah orang yang memberi perintah dan kepada larangannya tanpa membantah”. Agama kita telah diberi nama Islam, karena ia berarti taat kepada Allah dan tunduk kepada perintah-Nya tanpa membantah. Islam adalah agama yang mengajarkan agar manusia berserah diri dan tunduk sepenuhnya kepada Allah.
Nabi Muhammad saw bersabda yang artinya :
Islam itu ialah engkau menyembah Allah (menghambakan diri kepada-Nya, Dia sendiri saja), tiada engkau persekutukan Dia dengan suatu yang lain, engkau dirikan sembahyang, engkau keluarkan zakat yang difardukan, engkau berpuasa dibulan Ramadhan, dan engkau tunaikan ibadah haji jika engkau sanggup pergi ke Baitullah. (H.R. Bukhari)
Ajaran islam memang harus diyakini kebenaranya. Allah swt. telah menjamin kebenaran tersebut sebagaimana firman-Nya :
Sesungguhnya agama (yang diridhai) disisi Allah hanyalah Islam (Q.S. Ali Imran : 19)
Segala sesuatu yang ada di dalam alam ini, tunduk kepada suatu peraturan tertentu dan kepada undang-undang tertentu. Matahari, bulan dan bintang-bintang semua tunduk kepada suatu peraturan yang tetap, tidak dapat bergeser atau menyeleweng dari padanya meskipun seujung rambut. Doktrin keislaman yang selanjutnya termanifestasikan kedalam bidang fiqih yang meliputi hukum-hukum legal-formal (ubudiyah, mu’amalah, munakahah, jinayah, siyasah daln lain-lain). [1]


2.      Pengertian Iman
Iman berarti percaya, rukun iman itu ada enam, yaitu percaya kepada Allah, kepada Malaikat-malaikat-Nya, kepada Kitab-kitab-Nya, kepada Rasu-rasul-Nya, kepada Hari Akhir/Akhirat dan percaya kepada qadha dan qadar dari Allah. Menurut Imam Al Ghazali, yang dimaksud dengan pokok agama (iman) adalah sebagai berikut:
1.         Iman kepada Allah yang Maha Esa.
2.         Iman kepada utusan-utusan-Nya.
3.         Iman kepada Hari Akhirat.
Iman kepada Allah ialah kepercayaan yang mutlak mengakui adanya Allah yang telah mengutus Utusan-utusan-Nya. Dalam kepercayaan ini harus mengandung tiga unsur, yaitu:
1.         Diikrarkan/dinyatakan dengan lisan.
2.         Mengakui kebenaran di dalam hati, dan
3.         Dilaksanakan dengan perbuatan anggota badan.
Iman adalah kepercayaan yang meresap ke dalam hati dengan penuh keyakinan, tidak bercampur ragu, serta memberi pengaruh bagi pandangan hidup, tingkah laku dan perbuatan pemiliknya sehari-hari (Yusuf Qardlawi, 1977:25). Iman terletak didalam hati sanubari. Iman adalah segala yang dibenarkan dalam hati, diucapkan dengan lisan dan diamalkan itu  sudah barang tentu adalah seluruh ajaran islam. Jika seseorang sudah mengimani sluruh ajaran islam, maka orang tersebut sudah dapat dikatakan mukmin. Iman itu terdiri atas tiga tingkatan :
1.      Tingkatan mengenal. Pada tingkatan pertama ini seseorang baru mengenal sesuatu yang diimani.
2.      Tingkat kesadaran. Pada tingkat kedua ini iman seseorang sudah lebih tinggi, karena sesuatu yang diimani disadari oeh alasan-alasan tertentu. Tingkat haqqul yaqin.
3.      Tingkat ini adalah tingkatan iman yang tertinggi. Sseorang mengimani sesuatu tidak hanya mengetahui dengan alasan-alasan tertentu, tetapi dibarengi dengan ketaatan dan berserah diri kepada Allah
Hal yang paling pokok dalam iman ialah percaya kepada Allah Yang Maha Esa dan percaya kepada para Utusan-Nya yang membawa ajaran-ajaran, wahyu dan berita dari Allah. Ini tercermin dalam lafaz syahadat yang pertama harus diucapkan atau dinyatakan oleh seseorang yang masuk Islam.Hal ini pun sesuai dengan Firman Allah yang artinya sebagai berikut:
 $yJ¯RÎ) šcqãYÏB÷sßJø9$# tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä «!$$Î/ ¾Ï&Î!qßuur §NèO öNs9 (#qç/$s?ötƒ (#rßyg»y_ur öNÎgÏ9ºuqøBr'Î/ óOÎgÅ¡àÿRr&ur Îû È@Î6y «!$# 4 y7Í´¯»s9'ré& ãNèd šcqè%Ï»¢Á9$# ÇÊÎÈ  
Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu hanyalah orang-orang yang percaya (beriman) kepada Allah dan Rasul-Nya, Kemudian mereka tidak ragu-ragu dan mereka berjuang (berjihad) dengan harta dan jiwa mereka pada jalan Allah. Mereka Itulah orang-orang yang benar (QS. Al Hujuraat: 15).
Kaum Asy’ariah mempercayai iman itu berarti pembenaran (tashdiq) terhadap Allah SWT.menurut keyakinan mereka bahwa akal manusia tidak bisa sampai kepada kewajiban mengetahui Tuhan, iman bukan merupakan ma’rifah atau amal. Manusia dapat mengetahui kewajiban itu dari wahyu. Wahyu yang menerangkan kepada manusia, bahwa ia berkewajiban mengetahui tentang Tuhan, dan manusia harus menerima kebenaran berita ini.
Kaum Maturidiyah golongan Bukhara mempunyai faham yang sama menegenai konsep iman dengan kaum Asy’ariah. Sejalan dengan pendapat mereka bahwa akal tidak dapat sampai kepada kewajiban mengetahui adanya Tuhan. Batasan yang diberika Bazdawi tentang iman adalah menerima dalam hati dengan lidah bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan bahwa tidak ada yang serupa dengan-Dia.
Bagi golongan Samarkand, iman mestilah lebih dari tasdiq, karena bagi mereka akal dapat sampai kepada kewajiban mengetahui Tuhan. Al Maturidi mengatakan bahwa Islam adalah mengetahui Tuhan dengan tidak bertanya bagaimana bentuk-Nya, iman adalah mengetahui Tuhan dalam ketuhanan-Nya. Ma’rifah adalah menegetahui Tuhan dengan segala sifat-Nya, sedang tauhid adalah mengenal Tuhan dalam Keesaan-Nya.  [2]
3.  Pengertian Ihsan
                 Kata Ihsan artinya berbuat baik adalah kebalikan dari kata isa’ah yang artinya berbuat buruk. Ihsan adalah berbakti dan mengabdikan diri kepada Allah swt. Dengan dilandasi kesadaran dan keikhlasan. Berbakti kepada Allah yakni berbuat sesuatu yang bermanfaat, baik untuk diri sendiri, sesama manusia, maupun untuk makhluk lain. Semua perbuatan itu dilakukan semata-mata karena Allah swt, seolah-olah orang yang melakukan perbuatan itu sedang berhadapan dengan Allah. Selain itu Ihsan juga diartikan sebagai suatu tindakan seseorang untuk melakukan amar ma’ruf nahi munkar.
Ihsan ada empat macam, yaitu :
1.      Ihsan terhadap Allah, yakni menjalankan segala perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya
2.      Ihsan terhadap diri sendiri, yakni mengerjakan segala sesuatu yang mendatangkan kebaikan bagi diri sndiri dan menghindari semua perbuatan yang mendatangkan kecelakaan atau kerugian kepada diri sendiri
3.       Ihsan terhadap sesama manusia, yakni berbuat baik kepada saudara, tetangga, kerabat, maupun seagama
4.      Ihsan terhadap makhluk lain (alam lingkungan), yakni berbuat baik atau memelihara alam lingkungan agar tetap lestari dan tidak punah.
Iman yang kuat, akan mengokohkan islam yang ada dijiwa dan akan melahirkan perbuatan ihsan yang langsung terpancar dari Nur Ilahi.[3]

B.     Hubungan Islam, Iman dan Ihsan
Hubungan iman, islam, dan ihsan bagaikan segitiga sama sisi. Hubungan antara sisi yang satu dengan sisi yang lainnya sangat erat. Jadi orang yang taqwa ibarat segitiga sama sisi, yang sisi-sisinya adalah iman, islam, dan ihsan. Segitiga tersebut tidak akan terbentuk jika ketiga sisinya tidak saling mengait.
Iman itu membentuk jiwa dan watak manusia menjadi kuat dan positif, yang akan mengejawantah dan diwujudkan dalam bentuk perbuatan dan tingkah laku akhlakiah manusia sehari-hari adalah didasari/diwarnai oleh apa yang dipercayainya. Kalau kepercayaannya benar dan baik pula perbuatannya, dan begitu pula sebaliknya. Iman yang tertanam di dada memberi inspirasi positif kepada seseorang untuk berlaku dan beramal shaleh. Iman yang benar membawa pribadi ke arah perubahan jiwa dan cara berpikir positif. Perubahan jiwa tersebut merupakan suatu revolusi dan pembeharuan tentang tujuan hidup, pandangan hidup, cita-cita, keinginan-keinginan dan kebiasaan (Yusuf Qadlawi, 1977: 251).
Melakukan pembaruan jiwa, mengubah pandangan dan semangat adalah hal yang berat dan sulit, karena di dalam diri manusia terdapat berbagai keadaan dan sifat. Nafsu dan syahwat adalah dua kekuatan yang cendrung mendorong ke arah perbuatan negatif, menyimpang dari akal sehat dan syari’at agama. Al-Qur’an membenarkan hal itu. Keimanan kepada keesaan Allah itu merupakan hubungan yang semulia-mulianya antara manusia dengan penciptanya. Oleh karena itu, mendapatkan petunjuk sehingga menjadi orang yang beriman, adalah kenikmatan terbesar yang dimiliki oleh seseorang. Keimanan itu bukanlah semata-mata ucapan yang keluar dari bibir dan lidah saja atau semacam keyakinan dalam hati saja. Tetapi keimanan yang sebenar-benarnya adalah merupakan suatu akidah atau kepercayaan yang memenuhi seluruh isi hati nurani, dari situ timbul bekas-bekas atau kesan-kesannya, seperti cahaya yang disorotkan oleh matahari.
Salah satu kesan dari iman ialah apabila Allah dan Rasul-Nya dirasakan lebih dicintai olehnya dari segala sesuatu yang ada. Hal ini wajib ditampakkan, baik dalam ucapan, perbuatan dan segala gerak-geriknya dalam pergaulan maupun sewaktu sendirian. Dalam Al Qur’an, iman itu selalu dikaitkan dengan amal perbuatan baik sebagai syarat bahwa iman yang disempurnakan dengan amal baik berupa pelaksanaan rukun-rukun Islam, akan menyebabkan manusia hidup berbahagia di dunia dan di akhiratnya. Di antaranya dalam Al Qur’an Allah berfirman yang artinya sebagai berikut:
¨bÎ) tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä (#qè=ÏHxåur ÏM»ysÎ=»¢Á9$# ôMtR%x. öNçlm; àM»¨Zy_ Ĩ÷ryŠöÏÿø9$# »wâçR ÇÊÉÐÈ   tûïÏ$Î#»yz $pkŽÏù Ÿw tbqäóö7tƒ $pk÷]tã ZwuqÏm ÇÊÉÑÈ  
Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan beramal saleh, bagi mereka adalah surga Firdaus menjadi tempat tinggal, Mereka kekal di dalamnya, mereka tidak ingin berpindah dari padanya (QS. Al kahfi: 107-108)
Dari ayat ini nampak jelas bahwa iman yang dapat membawa ke arah kebahagian adalah yang disertai dengan amal perbuatan yang baik.
Iman adalah landasan tempat berpijak atau sebagai tali yang menjadi tempat bergantungnya dalam kehidupan ini. Lebih jelas lagi adalah ibarat yang diberikan oleh S. Abul ‘Ala Al Maududi tentang iman, bahwa iman itu laksana/ibarat urat (akar) dalam kehidupan tumbuh-tumbuhan. Dia menyatakan: “Hubungan antara Islam dengan iman adalah laksana hubungan antara pohon dengan uratnya, demikian pulalah, mustahil seseorang bisa menjadi muslim tanpa mempunyai iman.
Disamping adanya hubungan antara iman, islam, dan ihsan, juga terdapat perbedaan antara ketiganya sekaligus merupakan ciri masing-masing. Iman lebih menekankan pada segi keyakinan didalam hati, islam merupakan sikap untuk berbuat atau beramal. Sedangka ihsan merupakan pernyataan dalam bentuk tindakan nyata. Ihsan merupakan ukuran tipis tebalnya iman dan islam seseorang.[4]
C.    Peran dan Fungsi Tauhid dalam Kehidupa Sosial
 Tauhid  menempati kedudukan sentral dan esensial dalam islam, tauhid berarti komitmen manusia kepada Allah sebagai fokus dari seluruh rasa hormat, rasa syukur, dan sebagai satu-satunya sumber nilai dalam islam. Manusia yang bertauhid mengemban tugas untuk membersihkan manusia dari menyembah manusia, hewan, tumbuhan, matahari, berhala, dan lain-lain kepada menyembah Allah SWT. Dengan tauhid, kedudukan manusia sama manusia yang lain, yang membedakan manusia dihadapan Allah SWT adalah tingkat ketaqwaannya (QS. Al Hujurat: 13)
            Hubungan manusia tidak hanya dengan tuhannya, tetapi juga mencakup hubungan horisontal dengan sesamanya. Maka dari itu tauhid juga memiliki fungsi membentuk suatu masyarakat yang mengejar nilai-nilai utama dan mengusahakan tegaknya nilai keadilan sosial sehingga memberikan insipirasi pada manusia untuk mengubah dunia disekelilingnya agar sesuai dengan kehendak alloh. Hal ini akan memicu manusia untuk membentuk suatu misi yang bertujuan mengubah dunia, menegakkan kebenaran, dan keadilan, merealisasikan berbagai nilai-nilai utama dan memberantas kerusakan dimuka bumi. Dengan misi ini akan terwujud kehidupan sosial yang adil, etis, dan agamis.
Dalam konteks pengembangan umat, tauhid berfungsi mentransformasikan setiap individu yang meyakininya menjadi manusia yang lebih ideal dalam arti memiliki sifat-sifat mulia yang membebaskan dirinya dari setiap belenggu sosial, politik, ekonomi, dan budaya.
1.        Memiliki komitmen utuh pada Tuhannya. Ia akan berusaha secara maksimal untuk menjalankan pesan dan perintah Allah sesuai dengan kadar kemampuannya.
2.      Menolak pedoman hidup yang datang bukan dari Allah.
3.      Bersikap progresif dengan selalu melakukan penilaian terhadap kualitas kehidupannya, adat istiadatnya, tradisi dan paham hidupnya.
4.      Tujuan hidupnya amat jelas. Ibadahnya, kerja kerasnya, hidup dan matinya hanya untuk Allah semata. Ia tidak akan terjerat ke dalam nilai-nilai palsu atau hal-hal tanpa nilai sehingga tidak pernah mengejar kekayaan, kekuasaan dan kesenangan hidup sebagai tujuan. Sebaliknya, hal-hal tersebut hanyalah sebagai sarana mencapai keridlaan Allah.
5.      Memiliki visi yang jelas tentang kehidupan yang harus dibangunnya bersama manusia lain , suatu kehidupan yang harmonis antara manusia dan Tuhannya.



D.     Fungsi- fungsi sosial tauhid dalam kehidupan muslim di era modern

1.      Membebaskan manusia dari perbudakan mental dan penyembahan kepada semua makhluk.
Sampai sekarang masih banyak manusia, termasuk umat muslim yang cenderung mengikuti tradisi dan keyakinan nenek moyangnya. Tidak hanya itu, mereka juga banyak yang menyerah dan tunduk begitu saja kepada para pemimpin mereka, tanpa daya fikirr kritis serta keberanian untuk mengkritik. Padahal Al- Qur’an telah mengingatkan bahwa orang- orang yang tidak bersikap kritis terhadap para pemimpin mereka akan kecewa dan mengeluh di hari akhir.
Firman Allah SWT SWT :
tPöqtƒ Ü=¯=s)è? öNßgèdqã_ãr Îû Í$¨Z9$# tbqä9qà)tƒ !$uZoKøn=»tƒ $oY÷èsÛr& ©!$# $uZ÷èsÛr&ur hwqß§9$# ÇÏÏÈ   (#qä9$s%ur !$oY­/u !$¯RÎ) $uZ÷èsÛr& $uZs?yŠ$y $tRuä!#uŽy9ä.ur $tRq=|Êr'sù gŸxÎ6¡¡9$# ÇÏÐÈ  

 Pada hari ketika muka mereka dibolak-balikan dalam neraka, mereka berkata: "Alangkah baiknya, andaikata kami taat kepada Allah dan taat (pula) kepada Rasul Dan mereka berkata: "Ya Tuhan kami, sesungguhnya kami telah mentaati pemimpin-pemimpin dan pembesar-pembesar kami, lalu mereka menyesatkan kami dari jalan (yang benar). ".( QS. Al- Ahzaab : 66-67).

Fungsi ini dirujukkan pada kalimat “LailaahaillAllah SWT” ( tidak ada Tuhan selain Allah). Kalimat ini merupakan kalimat pembebasan bagi manusia. Dengan mengucapkan “ tidak ada Tuhan selain Allah”  berarti seorang muslim telah memutlakkan Allah SWT Yang Maha Esa sebagai Kholiq, maka umat muslim mengemban tugas untuk melaksanakan “ tahrirunnasi min ‘ibadatil ‘ibad  ila ‘ibadatillahi ”  atau membebaskan manusia dari menyembah sesama manusia kepada menyembah Allah SWT semata.

3.      Menjaga manusia dari nilai- nilai palsu yang bersumber pada hawa nafsu, gila kekuasaan, dan kesenangan- kesenangan sensual belaka.
Suatu kehidupan yang didedikasikan pada kelezatan sensual, kekuasaan, dan penumpukan kekayaan dapat mengeruhkan akal sehat dan menghilangkan pikiran jernih. Sebenarnya telah dengan tajam Al- Qur’an menyindir orang-orang seperti ini.
|M÷ƒuäur& Ç`tB xsƒªB$# ¼çmyg»s9Î) çm1uqyd |MRr'sùr& ãbqä3s? Ïmøn=tã ¸xÅ2ur ÇÍÌÈ   ÷Pr& Ü=|¡øtrB ¨br& öNèduŽsYò2r& šcqãèyJó¡o ÷rr& šcqè=É)÷ètƒ 4 ÷bÎ) öNèd žwÎ) ÄN»yè÷RF{$%x. ( ö@t/ öNèd @|Êr& ¸xÎ6y ÇÍÍÈ  
Terangkanlah kepadaku tentang orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya. Maka apakah kamu dapat menjadi pemelihara atasnya?  atau apakah kamu mengira bahwa kebanyakan mereka itu mendengar atau memahami. Mereka itu tidak lain, hanyalah seperti binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat jalannya (dari binatang ternak itu).( QS. Al- Furqon : 43-44)

4.      Sebagai frame of thought dalam perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Maksudnya ialah bahwa tauhid menjadi kerangka pemikiran dalam menemukan hakikat kebenaran mengenai segala yang ada di alam semesta ini pada seginya yang abstrak, potensial, maupun yang konkret. Sehingga manusia tidak melampaui batas dalam pemahaman suatu keilmuan yang membuat dirinya lalai dan merasa benar hingga akhirnya membawa mereka kepada kesombongan yang pasti berakhir dengan kehancuran. Contoh Hitler dengan tentara Nazinya, dengan ilmunya Hitler merasa bahwa gagasan yang dia miliki mampu membawa umat manusia menuju peradaban yang lebih maju, namun karena ilmu tersebut tidak dilandasi dengan Aqidah, maka yang terjadi adalah kehancuran rezim yang dimilikinya.

5.      Sebagai pondasi keimanan yang juga menjamin kebahagiaan dan kesejahteraan hidup seluruh umat manusia, ketika seluruh ajaran- ajarannya dilaksanakan secara konsisten.
Dengan menjadikan tauhid sebagai pegangan dalam hidup, serta merealisasikan perintah yang ada, maka akan terwujud suatu kebahagiaan serta kedamaian hidup yang tak terhingga. Karena telah di tancapkan dalam hati bahwa tidak ada yang memiliki kekuatan maupun kekuasaan selain Ilahirabbi.

6.      Mengajarkan kepada umat islam supaya menjadikan Allah SWT sebagai pusat kesadaran intelektual mereka.
Dengan kata lain, kita meyakini bahwa semua aktivitas yang kita lakukan maupun kejadian yang terjadi merupakan atas kehendak Allah SWT, semua itu telah diatur dengan sempurna oleh-Nya. Karena Dia lah pemilik seluruh isi alam ini, Dia mengetahui segala hal yang ghoib ( abstrak) maupun yang dzohir, yang tersembunyi maupun yang tampak, Dia lah Tuhan yang patut untuk disembah dan tiada Tuhan selain Dia. Dengan demikina akan terwujud keyakinan yang kukuh dan konsekuen, sehingga tidak mudah terombang ambing oleh perkembangan zaman dan tidak terpenaruh keyakinan yang menyesatkan.
Dengan Tauhid, manusia tidak saja akan bebas dan merdeka, tetapi juga akan sadar bahwa kedudukannya sama dengan manusia manapun. Tidak ada manusia yang lebih superior atau inferior terhadap manusia lainnya. Setiap manusia adalah hamba Allah yang berstatus sama. Jika tidak ada manusia yang lebih tinggi atau lebih rendah daripada mnusia lainnya di hadapan Allah, maka juga tidak ada kolektivitas manusia, baik sebagai suatu suku bangsa ataupun suatu bangsa, yang lebih tinggi atau lebih rendah daripada suku bangsa atau bangsa lainnya. Semuanya berkedudukan sama di hadapan Allah SWT. Yang membedakan hanyalah tingkat ketakwaan pada Allah SWT.[5]







BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
            Hubungan iman, islam, dan ihsan bagaikan segitiga sama sisi. Hubungan antara sisi yang satu dengan sisi yang lainnya sangat erat. Jadi orang yang taqwa ibarat segitiga sama sisi, yang sisi-sisinya adalah iman, islam, dan ihsan. Segitiga tersebut tidak akan terbentuk jika ketiga sisinya tidak saling mengait.
     Disamping adanya hubungan antara iman, islam, dan ihsan, juga terdapat perbedaan antara ketiganya sekaligus merupakan ciri masing-masing. Iman lebih menekankan pada segi keyakinan didalam hati, islam merupakan sikap untuk berbuat atau beramal. Sedangka ihsan merupakan pernyataan dalam bentuk tindakan nyata. Ihsan merupakan ukuran tipis tebalnya iman dan islam seseorang.
Dari pembahasan di atas dapat juga diketahui bahwa Tauhid mempunyai berbagai macam fungsi dan peran yang dapat memberikan dampak positif bagi kehidupan sosial yakni membebaskan manusia dari perbudakan mental dan penyembahan kepada semua makhluk, menjaga manusia dari nilai- nilai palsu yang bersumber pada hawa nafsu, gila kekuasaan, dan kesenangan- kesenangan sensual belaka, Sebagai frame of thought dalam perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, sebagai pondasi keimanan yang juga menjamin kebahagiaan dan kesejahteraan hidup seluruh umat manusia, ketika seluruh ajaran- ajarannya dilaksanakan secara konsisten, Mengajarkan kepada umat islam supaya menjadikan Allah SWT sebagai pusat kesadaran intelektual mereka. Maka jelaslah bahwa tauhid erat hubunganya dengan kehidupan sosial karena dengan ber tauhid manusia dapat mengetahui tujuan hidup mereka yaitu beribadah kepada Allah Subhanahu Wata’ala secara vertical yaitu langsung kepada Allah dengan ibadah makdoh dan Horizontal yaitu beribadah dengan sesama makhluk Allah dengan ibadah ghoirumakdoh.

DAFTAR PUSTAKA
Nasution , Harun, Teologi Islam:Aliran-aliran dan sejarah analisa perbandingan. ( Jakarta: UI-Press,2002)

Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, Mengenal Allah, Rosul dan Dinul Islam. (Solo :Al-Qowam, 2005)
Sayyid, Nur S.K. Sejarah Theologi Dan Akal Pemikiran ASWAJA.(YOGYAKARTA : PUSTAKA PELAJAR 2014) 

http://fungsi-tauhid-diera-modern.blogspot.com (diunduh pada: Selasa, 17 Mei 2016)
http://taman-pengetahuan.blogspot.com (diunduh pada: Selasa, 17 Mei 2016)


[1] Nur Sayyid S.K. Sejarah Theologi Dan Akal Pemikiran ASWAJA.(YOGYAKARTA : PUSTAKA PELAJAR 2014)  hlm 211
[2] Harun Nasution, Teologi Islam:Aliran-aliran dan sejarah analisa perbandingan. ( Jakarta: UI-Press,2002) hlm 147-149
[3] Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, Mengenal Allah, Rosul dan Dinul Islam. (Solo :Al-Qowam, 2005) hlm 215
[4] http://taman-pengetahuan.blogspot.com (diunduh pada: Selasa, 17 Mei 2016)
[5] http://fungsi-tauhid-diera-modern.blogspot.com (diunduh pada: Selasa, 17 Mei 2016)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar